Wukuf di Arafah, Proses Perenungan Jati Diri

Wukuf di Arafah, Proses Perenungan Jati Diri
Jutaan peserta haji dari berbagai belahan dunia berkumpul di Padang Arafah. Foto: Ist

Oleh Azis Kurmala

Labbaikallahumma labbaik. Labbaika laa syarikalaka labbaik. Innalhamda wal nikmata laka wal mulk laa syarikalak.

“Aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku datang memenuhi panggilan-mu. Sesungguhnya segala puji nikmat dan segenap kekuasaan adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu.”

Kalimat talbiah ini berulang kali terlontar dari mulut jamaah haji saat memasuki Padang Arafah, daerah terbuka dan luas di sebelah timur luar kota suci umat Islam di Makkah, Arab Saudi.

Sengatan panas Matahari membara dan embusan pasir yang mengusik mata tak menyurutkan semangat jamaah haji dari seluruh dunia untuk berkumpul di Padang Arafah pada 9 Zulhijah.

Tanggal 9 Zulhijah 1444 Hijriah atau 27 Juni 2023 menjadi puncak pelaksanaan ibadah haji. Orang-orang dari berbagai negara berkumpul di Padang Arafah tanpa melihat kedudukan.

Jutaan peserta haji dari seluruh dunia berkumpul hanya dengan mengenakan kain putih sederhana. Semua perbedaan kekayaan, posisi, dan identitas nasional terhapus.

Yang dimiliki hanya kumpulan pikiran, perasaan, dan perbuatan hidup seorang manusia.

Di area tandus dengan hamparan pasir yang luas itu, jamaah haji memulai ritualnya dengan cara berdiam diri melakukan perenungan tentang arti kehidupannya sebagai hamba Allah.

Perenungan itu memakan waktu sekitar 6 jam, yang dimulai dari zuhur sampai magrib, yang dikenal sebagai ritual wukuf.

Wukuf berasal dari waqafa yang artinya berhenti sejenak dari kegiatan untuk melakukan perenungan.

“Tidak ada haji tanpa wukuf,” sabda Rasulullah saw., artinya tidak ada haji tanpa perenungan di Arafah.

Maka tak heran, jamaah haji berdiam diri di tenda-tenda untuk melakukan perenungan jati diri.

Dalam perenungan ini, jamaah haji memohon ampunan atas dosa dan maksiat yang mereka lakukan.

Jamaah haji wajib ber-arafah yaitu menyadari bahwa dirinya memiliki keterbatasan-keterbatasan, serta menyadari bahwa kehidupan dunia hanyalah kendaraan menuju kehidupan akhirat yang kekal, menurut Direktur Penerangan Agama Islam Dr. H. Ahmad Zayadi, yang dilansir situs resmi Kementerian Agama.

Dalam ibadah wukuf, pakaian ihram hanyalah simbolik bahwa kehidupan manusia itu dibatasi, tidak seorang pun dari jamaah haji yang berani melewati batasan itu, semua harus memakai kain ihram dengan warna yang sama dan di lokasi yang sama.

Jika terdapat jamaah haji yang memakai pakaian berjahit atau berwukuf di luar padang Arafah, maka ibadah hajinya batal. Hal ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang dibatasi, dibatasi dengan syariat, dibatasi dengan batas usia, dibatasi kekuatan fisiknya, dibatasi jangkauan berpikir, dan lain sebagainya.

Manusia memang memiliki kekuatan fisik dan akal serta kesempurnaan dalam penciptaannya, namun terbatas dan terukur. Proses penciptaan manusia pun telah diatur oleh Allah Swt., dan fungsi tubuh pun memiliki batasan. Manusia terlahir lemah, kemudian dijadikan kuat oleh Allah, lalu kemudian kembali menjadi tua dan melemah.

M Eshaq (40), peserta haji asal Mesir, saat melakukan ritual wukuf lebih banyak berdiam diri di tenda sederhana. Saat wukuf, ia lebih banyak memohon ampunan kepada Sang Maha Pencipta atas dosa-dosa yang pernah dilakukannya.

Bagi dia, ritual wukuf ini baru permulaan  perjalanan spiritual berikutnya seperti lempar jumrah di Mina, tawaf atau mengelilingi Kakbah maupun sai antara Shafa dan Marwah.

Ia berharap bahwa ibadah yang dilakukannya dapat diterima di sisi Allah Swt.

Perenungan juga dilakukan oleh Ali Dakker (25), peserta haji asal Pakistan. Baginya puncak haji bukan semata-mata jamaah kumpul di Padang Arafah.

Peserta haji harus memaknai puncak ritual ibadah haji itu sendiri. Di Padang Arafah, lanjut dia, Nabi Muhammad melaksanakan wukuf serta menerima wahyu terakhir.

Di Padang Arafah, Nabi Ibrahim memohon dikaruniai keturunan dan menerima wahyu untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail.

Di tempat ini juga menjadi tempat bertemunya Adam dan Hawa setelah beratus tahun saling mencari di Bumi.

Al Abgetti, peserta haji asal Yordania, mengatakan bahwa wukuf di Padang Arafah adalah di mana jiwa spiritual naik menghadap Allah Swt.

Wukuf di Padang Arafah, bagi dia, memberikan rasa keharuan mendalam karena di sinilah dirinya merenung akan jati dirinya.

Aku merasa sangat dekat dengan Allah Swt. Ada perasaan haru dan senang, kata dia.

Bagi dia, jemaah haji yang berkumpul di Padang Arafah seperti yaumul mahsyar, yaitu bagaimana nanti manusia dibangkitkan dan dikumpulkan ke dalam antrian untuk menunggu giliran dihisab oleh Allah Swt.

Tempat yang tandus ini menjadi saksi bisu akan peristiwa-peristiwa sakral dan sudah semestinya jamaah haji melakukan perenungan, berzikir, dan berdoa, ujar dia.

Wukuf di Arafah merupakan simbol kedekatan sang hamba kepada Tuhan saat berhaji.

Dalam Khutbah Arafah, Sheikh Dr. Yusuf bin Muhammad Sa’id mengatakan bahwa sesungguhnya jamaah haji sedang berada di tempat yang istimewa dan waktu yang mulia.

Di tempat yang diharapkan ampunan dosa berlimpah dan doa diterima.

Perbanyaklah doa kepada Allah Swt. untuk kalian dan orang-orang yang kalian cintai juga bagi kaum muslimin secara umum, agar Allah memperbaiki kondisi mereka dan menyatukan barisan mereka di atas kebenaran.

Janganlah kalian lupakan dalam doa kalian orang-orang yang pernah berbuat baik kepada kalian, sebagaimana disebutkan dalam hadits, "Siapa yang telah berbuat suatu kebaikan kepadamu maka balaslah dia. Jika kamu tidak mampu membalasnya, maka doakanlah dia."

Jutaan manusia datang memenuhi panggilan Tuhan dengan sejuta harapan mengharap rida ilahi.

Cuaca panas yang mencapai 47 derajat celsius tak menjadi halangan bagi mereka untuk merenung, mengingat segala dosa-dosa yang melekat di tubuh.

Mereka berzikir, berdoa, dan bersujud memohon ampunan Sang Pencipta.

Karena mereka ingat akan hadits yang berbunyi “Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah”.(*/ANTARA)