Sekolah Tatap Muka, Perlukah Peserta Didik Divaksinasi?
Pasalnya, anak belum memiliki antibodi COVID-19. Sedangkan, di tempat umum ada banyak risiko terpapar virus corona.
MONDE--Program vaksinasi guru dan tenaga pendidik telah dimulai sejak Februari 2021 kemarin. Pemerintah sendiri menargetkan akan ada 5 juta guru yang divaksinasi pada Juni mendatang.
"Tenaga pendidik, kependidikan, guru, ini kita berikan prioritas agar nanti di awal semester kedua pendidikan tatap muka bisa kita mulai lakukan dan targetnya pada Juni nanti 5 juta guru, tenaga pendidik dan kependidikan, semuanya Insya Allah sudah bisa segera kita selesaikan sehingga bulan Juli saat mulai ajaran baru semuanya bisa berjalan normal kembali," terang Jokowi di SMAN 70 Jakarta, Jl Bulungan, Jakarta Selatan, Rabu (24/2/2021).
Namun, rencana belajar tatap muka di sekolah masih dikhawatirkan oleh banyak orang tua, terutama oleh Ardhini (50) yang memiliki anak di bangku SMA. Ia mengaku masih takut bila sang anak harus belajar di sekolah.
Pasalnya, sang anak belum memiliki antibodi COVID-19. Sedangkan, di tempat umum ada banyak risiko terpapar virus corona sehingga ia ingin sang anak juga mendapatkan perlindungan dari program vaksin.
"Nggak setuju kalau anak mau masuk (sekolah) sekarang. Guru-guru dulu divaksin, baru anak-anak dan perangkat sekolahnya juga divaksin, jadi semua aman karena kan bahasa sekali virus ini," kisahnya kepada detikcom.
Terkait hal itu, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim juga mengaku mendapatkan banyak pertanyaan dari orang tua terkait vaksinasi anak. Sebab, mereka khawatir anak bisa menularkan atau juga tertular virus corona saat PTM.
"Kami mendapatkan WA dari orang tua, tolong disuarakan pada vaksinasi anak, guru berpikir guru doang (yang divaksinasi), anak nggak. Kan anak bisa menularkan dan tertular juga," kata pria yang juga mengajar di SMA Labschool Jakarta ini.
Satriwan mengatakan guru-guru sangat mendukung bila ada rencana vaksin bagi para peserta didik. Namun, mereka menyerahkan keputusan vaksinasi peserta didik pada Kementerian Kesehatan terkait hal ini.
Indonesia, kata Satriwan, bisa saja mencontoh pembelajaran tatap muka seperti di luar negeri. Sebab, kegiatan belajar dan mengajar di sana sudah dilakukan tanpa adanya vaksinasi pada anak.
"Sangat mendukung adanya vaksinasi anak. Tapi bicara realistis, sekolah dibuka sudah mulai di Malaysia tapi nggak ada vaksinasi anak. Jadi kami mengikuti saja terkait Kemenkes dan tapi kalau ada lebih bagus," terangnya.
Ia juga menyoroti proses vaksinasi guru yang saat ini dinilai lambat. Pasalnya, berdasarkan laporan di daerah dan di Jakarta masih banyak guru yang belum mendapatkan pendataan untuk vaksin.
Akibatnya, lanjut Satriwan, target vaksinasi 5 juta guru di Juni mendatang sulit untuk terealisasi. "Laporan dari P2G di daerah, vaksinasi belum di Aceh, Riau, dan di Jakarta sendiri guru swasta dan tenaga pendidik, Situbondo juga belum, Kabupaten Ende juga, Kabupaten Sangihe juga. Jadi kami menyimpulkan vaksinasi guru dan tenaga pendidik agak lambat. Kami meragukan vaksinasi Juni 5 juta guru terpenuhi semua," tegas dia.
Satriwan juga memaparkan terkait persiapan pembukaan sekolah dalam sarana dan prasarana yang harus dilaporkan dalam daftar periksa Kemdikbud. Berdasarkan data yang ia terima masih banyak sekolah yang belum siap terkait hal ini.
Untuk itu, ia meminta agar pemerintah segera mendata guru untuk vaksinasi serta validasi data kembali pada sarana prasarana pada sekolah yang melaksanakan PTM. Dengan begitu, pembelajaran tatap muka bisa dilaksanakan.
"Asal buka tanpa vaksin dan daftar periksa ini berisiko buat anak. Jadi kami minta Pemda dan sekolah yang sudah buka divalidasi apakah benar mematuhi protokol kesehatan, adaptasi kebiasaan baru. Ini harus win-win solution karena PJJ panjang pun nggak bagus berisiko learning loss," ungkapnya.
Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal PAUD Dikdasmen Jumeri pada dasarnya pemerintah tidak mewajibkan peserta didik untuk masuk sekolah di tahun ajaran baru. Murid masih bisa melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) bila orang tua masih khawatir akan kesehatannya.
"Yang belum mantap boleh tetap PJJ dulu. Kemendikbud mewajibkan sekolah memberi opsi PTM setelah gurunya divaksinasi, orang tua masih boleh tidak ikut tatap muka jika mempertimbangkan anaknya belum berani ke sekolah" jelas dia.
Lebih lanjut, Jumeri mengatakan saat ini pihaknya belum ada rencana melaksanakan program vaksinasi pada peserta didik. Sedangkan, rencana pembukaan sekolah tatap muka masih menunggu kebijakan baru.
"Belum ada (rencana vaksinasi). Kita baru mengkaji kemungkinan-kemungkinan (PTM). Maunya setelah guru divaksin segera buka opsi PTM. Kita masih tunggu SKB baru," papar dia.
Ternyata, belum adanya rencana vaksinasi pada peserta bukan semata-mata karena tidak adanya persiapan. Melainkan, berdasarkan hasil riset saat ini vaksinasi belum bisa digunakan pada anak usia di bawah 18 tahun atau yang umumnya masih duduk di bangku sekolah.
Hal ini ditegaskan oleh Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kemenkes Siti Nadia Tarmizi. Menurut dia saat ini lembaga kesehatan dunia atau WHO belum memberikan rekomendasi penggunaan vaksin pada anak di bawah 18 tahun. Kemenkes sendiri tengah menunggu rekomendasi dari Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
"Yang jelas di bawah usia 17 tahun belum ada vaksinnya. Belum ada rekomendasi dari WHO sendiri dan kita tahu bahwa vaksinnya belum tersedia. Yang pastinya kalau ada belum ada uji klinis kita nggak bisa gunakan vaksin (pada peserta didik). Kita juga masih menunggu rekomendasi dari ITAGI dan IDAI," imbuh Nadia.
Namun, kata Nadia, pembelajaran tatap muka masih bisa dilakukan bila peserta didik mau menerapkan protokol kesehatan COVID-19 dan adaptasi kebiasaan baru. Selain itu, sekolah juga harus memerhatikan sarana dan prasarana.
"Selama menjalankan protokol kesehatan dengan benar dan kita sendiri memiliki buka pedoman adaptasi kebiasaan baru di institusi pendidikan, kalau bisa dilakukan, mungkin saja bisa melakukan PTM. Contohnya juga melihat kapasitas ruang kelas, kan selama ini kita tahu juga bekerja harus 25-50%," tutup dia.(*/)