Saat Indonesia Memilih

Tercatat jumlah TPS Pemilu 2024 sebanyak 823.220 titik. R

Saat Indonesia Memilih
TPS 071 Permata Depok Kelurahan Pondok Jaya, Depok, Jawa Barat

MONDE - Hujan mengguyur bumi Indonesia. Persis pada hari H Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Sebelum pesta demokrasi dimulai, 14 Februari.

Tapi, air dari langit itu tak meruntuhkan rakyat Indonesia untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Mereka sadar masa depan bangsa ini dalam genggamannya.

Ada tiga pasangan calon presiden dalam Pemilu serentak ini. Paslon pertama: Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Nompr urut dua, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Paslon ketiga: Ganjar Pranowo dan Mahfud Md.

Selain itu juga ada pemilihan legislatif seperti DPR RI, DPD, DPRD, DPRD Provinsi. Pesta rakyat ini juga menjadi libur nasional.

Dilansir dari portal Open Data KPU RI, tercatat jumlah TPS Pemilu 2024 sebanyak 823.220 titik. Rinciannya 820.161 TPS dalam negeri dan 3.059 TPS di luar negeri.

Pemilih dalam negeri se-Indonesia berjumlah 203.056.748 dan pemilih luar negeri di 128 negara perwakilan 1.750.474. Pemilu juga disemarakkan oleh 23 partai peserta yang terdiri dari 17 partai nasional dan 6 partai lokal Aceh.

Total pemilih dari kelompok generasi milenial dan generasi Z berjumlah lebih dari 113 juta orang. Kedua generasi ini mendominasi pemilih Pemilu 2024, yakni sebanyak 56,45% dari total keseluruhan pemilih 204.807.222.

Momentum pesta demokrasi lima tahunan ini dimanfaatkan dengan baik oleh rakyat Indonesia untuk menentukan pilihan, khususnya pilpres.

Saya tak ingin menggiring Anda untuk memilih siapa. Demokrasi adalah kebebasan. Pilihlah sesuai hati nurani. Masa depan negeri ini ada pada Anda.

Pesta demikrasi seharusnya dilakukan dengan riang gembira. Tidak harus bergontok-gontokan. Atau saling menjelekan satu sama lain.  

Carilah pemimpin atau atau wakil rakyat yang benar-benar mampu mewakili aspirasi kita. Bukan sekadar janji dan basa basi demi ambisi.

Demokrasi tidak pernah menutup ruang kebebasan, termasuk dalam memilih pemimpin.

Revolusi Prancis
Dalam sejarah, pemilu berawal dari Revolusi Prancis (1789-1799). Runtuhnya hegemoni monarki di bawah Raja Louis XVI yang berkuasa sewenang-wenang.

Vox Rei Vox Dei merupakan cerminan suasana kehidupan berbangsa dan bernegara di abad pertengahan.

Malangnya, kedudukan Raja mendatangkan kesengsaraan kepada rakyat melalui kebijakan. Seperti pajak yang mencekik, perampasan tanah dan bangunan rakyat, korupsi dan  semacamnya.

Revolusi Prancis melahirkan kedaulatan rakyat, sebagai suara Tuhan. Vox Populi Vox Dei, berjanji untuk menjunjung kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan.

Dibutuhkan legitimasi pemimpin untuk berada di panggung nahkoda perahu negara-bangsa. Ditransformasikan 3 nilai sakral, yang kemudian mendunia, ke dalam sistem politik berbasiskan kedaulatan rakyat. Lahirlah one man one vote sebagai wujudnya. Itulah satu wajah demokrasi.

Kembali kepada Pemilihan Umum (Pemilu). Indonesia yang mendeklarasikan sebagai Republik harus mengoperasikan pemilihan umum untuk menseleksi pemimpin.

Pemilu pertama dilakukan tahun 1955. Legitimasi kepemiluan diletakkan pada Jujur dan Adil (Jurdil) untuk melaksanakan hak asasi, hak memilih dan dipilih berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat 2.

Turunan dari Undang-Undang Dasar dimuat dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia Pasal 43 ayat 1 dan 2 berkenaan kepemiluan atau penggunaan hak memilih dan dipilih. Caranya hanya satu, melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Dengan begitu Pemilu merupakan satu instrumen politik yang memberikan legitimasi kepada siapa pun untuk memimpin. Tidak berhenti pada legitimasi, tetapi, seiring berjalannya pemerintahan, ada kewenangan yang disediakan hukum konstitusi dan hukum administrasi negara; ada sistem pembagian kekuasaan yang mengontrol perilaku penguasa dan lembaga yudikatif sebagai pemutus persoalan hukum.

Pemilih umum merupakan ujung dari proses rekrutmen politik untuk pemimpin untuk mengesampingkan kekuasaan askriptif (Cipto, 1996).

Affan Gaffar (1992) menceritakan pola pemilihan umum dan perilaku pemilihnya yang masih mengandalkan kepemimpinan lokal untuk menentukan pilihan, atau profil identitas budaya dan religiusitas membawa pengaruh pada penentuan pilihan.

Tentu saja apa yang digambarkan Gaffar berbeda. Bahkan jauh, dengan pemilihan umum pasca reformasi 1998. Tetapi spiritnya tetap dipertahankan. Sistem kepemiluan Indonesia pun memperhitungkan sebaran daerah (electoral college) selain kemenangan elektoral (electoral vote) untuk memenangi pemilu satu putaran.  

Ini berbeda dengan Amerika Serikat yang menentukan electoral college sebagai syarat kemenangan dalam pemilu.

Demokrasi tidak pernah menutup ruang kebebasan, termasuk dalam memilih pemimpin. Kini, saatnya Indonesia memilih.