Rocky Gerung Bunga Demokrasi, Tidak Layak Dipenjara
berkat agenda setting media, publik sepakat Rocky adalah bunga demokrasi yang dicintai media massa dan media sosial
MONDE--Rocky Gerung adalah bunga demokrasi yang hadir dalam dialektika ruang public dengan jargon politik akal sehat. Kritikannya sangat tajam, lugas, penuh satire, menghibur, bahkan kontroversial.
Hal itu dikatakan Analis politik dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting, dalam diskusi publik bertema Kritik Dijawab Penjara yang diselenggarakan KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) di Jakarta, Jumat (11/8/2023).
“Kritikan Rocky Gerung yang kontroversial kepada penguasa, tidak layak untuk dipenjarakan,” ujarnya.
Menurut Ginting, berkat agenda setting media, publik sepakat Rocky adalah bunga demokrasi yang dicintai media massa dan media sosial. Kehadiran Rocky memikat publik untuk menyaksikan kehadirannya melalui pernyataannya yang berani dan kontroversial.
“Rocky Gerung adalah bintang taklshow televisi, radio, dan berbagai saluran media sosial yang mampu menghipnosis penonton, sehingga kehadirannya dirindukan dalam diskusi-diskusi politik,” ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas itu.
Dikemukakan Ginting, di tengah tensi politik yang semakin panas jelang pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), Rocky hadir sebagai pelepas dahaga publik menghadapi kebijakan politik yang kontroversial. Sehingga sebagai filsuf politik, Rocky tak bosan mengktitik pemerintah dengan diksi yang membuat semua pihak terkejut.
“Jika disebut diksinya kasar terhadap Presiden Jokowi, hal itu tidak bisa dipisahkan dari kegundahan batinnya yang jengkel terhadap kebijakan presiden. Banyak yang berujar dengan diksi yang sama seperti Rocky, namun tidak diancam dengan penjara seperti Rocky. Kesimpulannya, kehadiran Rocky dianggap membahayakan kekuasaan,” ujar Ginting.
Bukan kali ini saja, kata Ginting, kritikan Rocky berujung pada kontroversi publik yang berimbas pada persoalan hukum. Rocky memang selalu menekankan pentingnya kritik, karena kritik mempunyai pengertian pada dataran konseptual maupun realitas.
“Inilah yang disebut dialektika, karena setiap argumen harus dikritik dengan argumen lain yang berlawanan. Tesa berhadapan dengan antitesa, sehingga melahirkan sintesa. Penguasa membuat tesa, Rocky hadir sebagai antitesa terhadap penguasa, sehingga akan muncul sintesa sebagai pendidikan politik bagi publik,” ujar Ginting yang juga wartawan senior bidang politik.
Menurutnya, proses tesa dilawan antitesa melahirkan sintesa politik harus tumbuh dalam iklim demokrasi, termasuk di Indonesia. Tanpa kritik, maka kekuasaan akan jauh dari keseimbangan. Sebaliknya, tanpa keseimbangan kekuasaan akan terjadi dominasi yang akan melahirkan kejahatan politik.
“Jadi Rocky merasa perlu menghadirkan kritisisme tersebut di ruang publik, baik di media massa, media sosial maupun di ajang diskusi. Kalau pun Rocky dianggap tidak sopan atau kasar, tapi dia tidak layak dipenjarakan,” kata Ginting.
Menurutnya, media masa juga menggunakan jasa Rocky dalam posisi sebagai filsuf politik atau pengamat politik oposan untuk melawan penguasa. Media massa menghadirkan Rocky sebagai oposan terhadap penguasa, karena memenuhi semua syarat sebagai bintang televisi taklshow yang cerdas untuk melawan penguasa.
“Kalimat-kalimatnya logis, kritis, tajam, dan penampilannya memiliki daya tarik luar biasa bagi pemirsa. Agenda setting media turut menjadikan Rocky sebagai bintang talkshow sekaligus bunga demokrasi bagi Indonesia yang tak terbantahkan,” ujar Ginting.
Dikemukakan, apabila karena ucapannya yang sangat kritis dan dianggap menghina penguasa, lalu Rocky harus dipenjarakan, maka dunia politik akan melihat Indonesia sebagai negara yang mengalami kemunduran demokrasi.
“Demokrasi kerap menghasilkan dialektika dan kegaduhan di ruang publik. Kritik politik adalah anak kandung demokrasi. Kita tidak boleh membunuh Rocky dengan memenjarakannya, karena bertentangan dengan alam demokrasi. Jika itu terjadi, dunia akan menertawakan kehidupan politik Indonesia” pungkas Ginting.*