Putusan MK Terkait UU Cipta Kerja: Investor Jangan Galau
MONDE--Investor diharapkan tidak galau pasca adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Para pemodal tetap memperoleh kepastian hukum, dan investasi dapat berjalan sambil menunggu pembentuk Undang Undang memperbaiki UU tersebut dalam kurun waktu maksimal dua tahun.
Itulah salah satu poin penting dalam Webinar Podcast bertajuk “Kontroversi Keputusan MK Terkait UU Cipta Kerja dan Iklim Investasi” yang digelar Center for Strategic Policy Studies (CSPS) Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia bersama Indonesian Center for Legislative Drafting (ICLD), Rabu (8/12/2021).
Webinar yang dibuka Ketua CSPS SKSG UI, Guntur Subagja Mahardika, menghadirkan narasumber para pakar hukum, yaitu Dr Fitriani Ahlan Sjarif SH, MH (Direktur ICLD dan Dosen FH UI), Prof Dr Basuki Rekso Wibowo (Dekan FH Universitas Nasional), dan Dr Firman Wijaya (Dekan FH Universitas Krisnadwipayana. Dipandu moderator dari peneliti CSPS Khaerul Ardhian Syekh dan Ajeng Pramastuti sebagai host.
Seperti diketahui, inti amar putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Cipta Kerja masih berlaku sepanjang akan dilakukan perbaikan dalam tata pembentukan. MK memberikan waktu dua tahun kepada pembentuk UU untuk melakukan perbaikan tata cara pembentukan UU Cipta Kerja. Jika tidak maka dinyatakan kinskonstitusional permanen dan pengaturan UU lama berlaku kembali.
Amar putusan MK juga menangguhkan segala tindakan bersifat strategis dan berdampak luas dan tidak dibolehkan membentuk peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja pasca putusan MK tersebut.
Ketua CSPS SKSG UI, Guntur Subagja Mahardika, mengungkapkan perlu strategi efektif mengimplementasikan putusan MK dengan tetap menciptakan iklim investasi yang kondusif dan kepastian hukum kepada para investor baik yang sudah maupun yang akan menanamkan modalnya di Indonesia.
“Kita harus memanfaatkan momentum pemulihan ekonomi nasional setelah terpuruk di tengah pandemi covid-19. Selain melihat aspek prosedur formal, perlu juga mempertimbangkan aspek kemanfaatan bagi masyarakat, bangsa dan negara,” tuturnya.
Sementara itu Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Nasional Prof Dr Basuki Rekso Wibowo menjelaskan, putusan MK tidak membatalkan materi muatan UU Cipta Kerja. UU tersebut tetap berlaku, termasuk seluruh peraturan pelaksanaannya sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu yang ditetapkan putusan MK.
“Pemerintah dalam waktu dua tahun, terhitung sejak putusan MK diucapkan, masih dapat bekerja dan menjalankan semua program maupun kebijakannya berdasarkan UU Cipta Kerja dan peraturannya,” papar Prof Basuki.
Kendati begitu, lanjut Prof Basuki, tidak ada salahnya apabila Pembentuk UU Cipta Kerja melakukan perubahan terhadap ketentuan-ketentuan dalam UU Cipta Kerja, yang mendapat sorotan dan resistensi dari berbagai pihak.
Dikatakannya pula, putusan MK menimbulkan guncangan terhadap iklim investasi dan kemudahan berusaha yang mulai dibangun dengan baik oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan peringkat easy doing business di Indonesia.
Para investor dan calon investor, sebut Basuki, tentunya akan menjadi ragu. Problem kepastian hukum bagi investor maupun calon investor menjadikan persoalan utamanya.
“Waktu untuk melakukan perbaikan selama 2 tahun terbilang singkat, oleh karena itu Pembentuk UU perlu bekerja keras, dengan melibatkan para ahli dan para pemangku kepentingan untuk melakukan segala daya dan upaya untuk melakukan perbaikan dengan cermat, teliti, partisipatif sebagaimana dalam amar putusan MK tersebut,” papar Prof Basuki.
Direktur ICLD Dr Fitriani Ahlan Sjarif SH, MH melakukan analisis cost and benefit terhadap putusan MK terhadap UU Cipta Kerja tersebut. Keuntungannya, jelas Fitriani, pertama sistem hukum dapat diperbaiki. Kedua, teknik dan proses harus menjadi hal penting dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.
Ketiga, Pembuat UU menjadi lebih hati-hati, dan pembelajaran pada masyarakat untuk semangat mendampingi proses. “Kerugiannya, ketidakpercayaan pada hukum Indonesia, investasi jadi tersendat,” ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.
Meski begitu, Fitriani memastikan kepastian hukum untuk investor, ada dasarnya dan payung hukumnya. “UU berlaku, Peraturan Pemerintah berlaku, eksisting UU bisa berjala sebagaimana yang ada sekarang, sampai batas waktu perbaikan,” jelas Direktur ICLD.
Dekan FH Universitas Krisnadwipayana, Dr Firman Wijaya, menyoroti desenting opini hakim MK dalam Putusan MKRI No. 91/PUU-XVIII/2020, dimana sebanyak 5 hakim posisi opini Kabul dan 4 hakim posisi opini Tolak. Tidak hanya di hakim MK, Firman juga melihat perbedaan pendapat para mantan Ketua MK dalam sejumlah publikasi media.
“Dari desenting opini ini terdapat lima masalah yang diidentifikasi dan perlu diatasi. “Kelima masalah tersebut adalah problem policy, problem persepsi, problem arogansi, problem koordinasi, dan problem implementasi. Semua harus diatasi,” tegas Firman Wijaya.
Karena itu, Firman mengusulkan perlu ada konduktor dalam perbaikan UU tersebut. Walaupun Pembentuk UU adalah Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Firman menyarankan tidak ada salahnya bila berkonsultasi dengan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung untuk kepentingan bangsa dan negara.
“Sebaiknya MK dan MA menjadi konduktor baik diminta ataupun tidak, selain juga membuka medium masukan dari berbagai pihak,” katanya.
Firman mencermati putusan MK terkait UU Cipta Kerja menjadikan keterasingan makna. Karena itu, harus ada tafsir otentik dan juga tafsir gramatikal, serta tidak boleh ada kekosongan hukum atau kekosongan Undang Undang.
“Perlu mempertemukan legal gap yang muncul, atau jangan-jangan tidak ada legal gap, tapi yang ada gap feeling,” kata Firman yang juga Ketua Umum Peradin (Perhimpunan Advokat Indonesia).(*/kn)