Perubahan Depok Oh Wartawan...
Merasa menang (baca: unggul) boleh-boleh saja. Tapi, jangan larut dalam euforia.
SAYA bukan simpatisan partai politik. Bukan relawan kandidat pasangan calon (paslon) Imam-Ririn atau Supian-Chandra.
Secara pribadi saya tidak kenal kedua paslon. Tapi, sebagai wartawan, saya pernah wawancara dengan kedua calon Wali Kota Depok, Jawa Barat itu. Hanya sebatas menjalankan profesi.
Saya mencermati para simpatisan atau relawan kedua paslon 'menari-nari' di WAG Depok Media Center (DMC). Mereka saling berbalas 'pantun'. Sindir menyindir jadi menu sarapan pagi, siang hingga malam.
Semua merasa diri yang paling benar. Semua merasa paling baik. Paling hebat, dan unggul, pantas diperhitungkan dan dipilih.
Saya salut dengan Ketua PWI Depok yang mencoba menjadi wasit dalam 'nyanyian nyinyir' di WAG. Ia selalu mengingatkan berbahasa santun dalam berargumen. Tidak menyerang pribadi, rasis, dan ujaran kebencian. Jika itu terjadi, langsung diperingatkan. Bahkan tak segan mengeluarkan kartu merah atau kick dari grup jika sudah kelewat batas.
Berdasarkan hasil hitung cepat atau quick count VoxPol Center, pasangan Imam-Ririn yang diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meraih 46,81 persen suara, tertinggal sekitar enam persen dari pasangan nomor urut 2, Supian-Chandra , yang memperoleh 53,19 persen suara.
Hasil quick count ini diumumkan setelah data masuk mencapai 100 persen pada pukul 20.32 WIB, Rabu (27/11/2024).
Tapi, itu belum final, sebelum peluit panjang ditiup Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jangan terlalu euforia dengan hasil sementara.
Ibarat pertandingam sepak bola, segalanya bisa berubah saat injury time. Rekapitulasi suara resmi akan dilakukan oleh KPU secara berjenjang mulai Kamis (28/11/2024) hingga Senin (16/12/2024).
Merasa menang (baca: unggul) boleh-boleh saja. Tapi, jangan larut dalam euforia. Apalagi, ada juga sesama teman seprofesi wartawan menjadi bagian di dalamnya.
Saya sedih melihat foto- foto yang beredar. Saya hanya sekadar mengingatkan. Meski Itu hak pribadi mereka. Hak demokrasi berpendapat sebagai warga negara. Saya tidak berani membatasi pola pikirnya. Selama mereka tahu batasan-batasan sesuai Kode Etik Jurnalistik.
Pasal 1 KEJ menyatakan, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran kata berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pada pihak lain.
Demikian juga kalimat ‘memberitakan secara berimbang’ di pasal 3 KEJ bermakna memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
Ada anggota WAG yang menyarakan sebaiknya wartawan ambil cuti jika ingin menjadi bagian dari timses paslon atau berpolitik praktis.
Saya sependapat karena wartawan sebagai pilar keempat demokrasi. Bertugas mencerdaskan masyarakat lewat karya tulisnya. Bukan terlibat dalam politik praktis. Pun berlebihan memuji dan menjelekan paslon.
Tapi, saya kembalikan pada hati nurani mereka. Saya tak ingin jauh meraba-raba. Kedalaman hati seseorang tak ada yang tahu, kecuali dirinya sendiri.
Saya teringat ketika menimba ilmu di Ruang V 'University of Lenteng Agung' Jakarta bawa kebanggaan seorang wartawan adalah ketika tulisan atau karya jurnalistiknya berguna dan bermanfaat bagi orang banyak. Itu poin yang penting bagi saya.
Saya lebih tertarik mencermati misi dan visi paslon. Baik yang tertulis, tersirat maupun saat kampanye dan debat di televisi. Publik tahu mana yang benar-benar pantas menjadi orang nomor satu di Kota Depok.
Pandangan saya mungkin, bahkan berbeda dengan lainnya. Tapi, saya tak ingin menggiring orang dalam satu frame pemikiran dengan saya. Pilkada ada pesta rakyat. Perbedaan itu biasa. Terpenting saling menghormati. Menghargai pilihan satu sama lainnya.
Ketika paslon Supian-Chandra menggemborkan bendera perubahan, saya menunggu jurus apa yang ingin dikeluarkan. Tapi saya tak menemukan jawaban yang menyejukkan hati.
Setumpuk masalah di Depok tak kunjung teratasi. Mulai dari pendidikan, lapangan pekerjaan, sampah, banjir hingga kemacetan serta lainnya.
Filsuf Yunani pra Socrates, Heraclitus mengklaim bahwa hidup adalah perubahan. Heraclitus mendorong orang untuk menerima perubahan sebagai esensi fundamental kehidupan dan hidup di dalamnya, dengan kesadaran total tentang apa yang dimiliki dan akan dimiliki pasti akan hilang.
Kutipan Heraclitus yang sering di salah artikan adalah, “Kamu tidak mungkin dua kali menjejakkan kaki ke dalam sungai yang sama.” yang sering langsung diterjemahkan “In the same river we both step and do not step, we are and are not.”.
Apa yang Heraclitus maksudkan adalah bahwa dunia berada dalam keadaan perubahan yang konstan dan, ketika seseorang dapat melangkah dari tepi sungai ke dasar sungai, seseorang telah berjalan sebelumnya.
Heraclitus hanya menggambarkan kebenaran dasar bahwa hidup adalah aliran konstan seperti yang diungkapkan dalam frasa terkenalnya Panta Rhei (“semuanya berubah” atau “hidup adalah perubahan”).
Saya bermukim di pinggiran Depok, berbatasan dengan Kabupaten Bogor (Citayem). Saya dan warga sekitar tentu berharap ada perubahan perbaikan lingkungan. Tapi, kami tak merasakan perubahan yang signifikan sejak tinggal di Komplek Permata Depok.
Tiap hujan lebat 1-2 jam, warga di pemukiman tidak lagi gelisah. Mereka sudah pasrah. Beberapa sektor dikepung air.
Mereka sudah terbiasa dengan banjir hingga sepinggang orang dewasa. Sejak tahun 2015 hingga hari ini. Pergantian pengurus RT, RW, Lurah, bahkan Camat, tak mengubah keadaan.
Rezim penguasa PKS yang hampir 20 tahun juga belum mampu mengatasinya. Mungkin mereka tak melihat langsung saat kejadian.
Tapi, para politikus berusaha menarik simpati warga setiap lima tahun sekali. Janji-janji surga ditebar dengan bibir yang manis tapi terasa pahit ketika tujuannya tercapai. Mereka menghilang seperti ditelan bumi.
Saya bukan anti PKS. Saya tidak membenci partai beraura Islam itu. Saya berteman dengan segilintir orang-orang partai. Tapi, saya juga tidak berbaju partai lainnya atau simpatisan. Saya tidak mau larut dalam percaturan politik yang bertentangan dengan hati nurani sebagai wartawan.
Sebagai warga Depok, tentu kita semua berharap ada perbaikan di segala sektor kehidupan. Siapa pun yang kelak memimpin Kota Depok. Tapi, akankah perubahan itu terjadi? Atau masih tetap begini saja?
Suryansyah
Ketua Siwo PWI Pusat, Pemred Monitor Depok
Warga Depok Pinggiran