Pemerintahan Prabowo-Gibran: Bagi-bagi Kue Kekuasaan?

pemerintahan Prabowo-Gibran mengklaim bahwa pembagian posisi kekuasaan ini bukan semata-mata bagi-bagi jabatan.

Pemerintahan Prabowo-Gibran: Bagi-bagi Kue Kekuasaan?
Ilustrasi

Oleh Syahrul Amin Nasution*

Pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang secara resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, membawa harapan baru sekaligus tanda tanya bagi rakyat Indonesia.

Pemerintahan ini merupakan gabungan kekuatan politik yang mencolok, mengingat Prabowo telah lama menjadi aktor penting dalam perpolitikan nasional, sementara Gibran, putra Presiden Joko Widodo, merupakan sosok yang relatif baru di panggung politik nasional.

Dalam masa-masa awal pemerintahan ini, muncul narasi bagi-bagi kue kekuasaan yang kian santer terdengar. Konsep ini merujuk pada penempatan tokoh-tokoh penting dari berbagai partai politik dalam posisi strategis pemerintahan. Publik menyoroti bahwa koalisi besar yang dibentuk Prabowo saat pencalonannya telah menimbulkan ekspektasi bahwa kabinet dan jabatan publik akan diisi oleh kader-kader dari partai-partai pendukung.

Di tengah ekspektasi tersebut, banyak yang bertanya-tanya apakah model politik seperti ini justru memperkuat oligarki atau malah membawa pemerintahan yang inklusif dan mampu melayani semua kalangan.

Politik transaksional sering kali dicurigai menjadi alasan di balik penunjukan-penunjukan tersebut, di mana dukungan politik dibalas dengan posisi-posisi strategis dalam pemerintahan.

Namun, dari sudut pandang lain, pemerintahan Prabowo-Gibran mengklaim bahwa pembagian posisi kekuasaan ini bukan semata-mata bagi-bagi jabatan, tetapi sebuah strategi untuk menjaga stabilitas politik nasional.

Dengan merangkul berbagai elemen politik dalam pemerintahan, koalisi besar diharapkan mampu mengurangi potensi konflik politik yang sering kali terjadi akibat perpecahan ideologi atau kepentingan.

Para pengamat politik menyebutkan bahwa kebijakan seperti ini memang memiliki risiko tersendiri. Pembagian kekuasaan yang terlalu luas dapat membuat roda pemerintahan menjadi tidak efektif, terutama jika posisi-posisi kunci diisi oleh orang-orang yang kurang kompeten. Apalagi, jika jabatan strategis diisi hanya berdasarkan kepentingan politik, bukan kapabilitas.

Di sisi lain, para pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran menekankan bahwa komposisi kabinet mereka akan tetap memperhatikan kualitas individu yang diangkat.

Dalam beberapa wawancara, Prabowo menegaskan bahwa kabinetnya tidak akan hanya diisi oleh para politikus, tetapi juga oleh profesional yang kompeten di bidangnya masing-masing. Hal ini untuk memastikan bahwa pemerintahan dapat berjalan efektif dan mencapai target-target pembangunan yang ambisius.

Pembagian jabatan ini juga menjadi ujian bagi Gibran, yang meskipun baru di level politik nasional, tetap diharapkan memainkan peran penting dalam menyeimbangkan dinamika politik antara generasi muda dan para politikus senior.

Sebagai representasi politik generasi baru, Gibran diharapkan bisa membawa perubahan dalam pola distribusi kekuasaan di Indonesia, terutama dalam hal transparansi dan meritokrasi.

Namun, tantangan bagi pemerintahan ini adalah bagaimana menjaga agar bagi-bagi kue kekuasaan tidak berubah menjadi ajang bagi-bagi kepentingan semata. Banyak yang khawatir jika politik transaksional terus terjadi, maka kepentingan rakyat bisa terpinggirkan oleh permainan elite politik. Hal ini sangat mungkin menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat yang menginginkan perubahan signifikan dalam birokrasi dan tata kelola pemerintahan.

Jika melihat ke belakang, politik bagi-bagi kekuasaan bukanlah hal baru di Indonesia. Sejak era reformasi, model pemerintahan koalisi kerap diwarnai oleh distribusi jabatan kepada partai-partai pendukung. Hal ini terjadi hampir di setiap pemerintahan, mulai dari era Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo. Namun, yang membedakan adalah bagaimana masing-masing pemerintahan mengelola kompromi politik tersebut.

Pemerintahan Prabowo-Gibran memiliki kesempatan untuk menunjukkan bahwa politik koalisi dapat berjalan secara lebih efisien dan transparan. Jika menempatkan orang-orang yang tepat pada posisi strategis, mereka bisa menciptakan pemerintahan yang lebih inklusif tanpa mengorbankan efektivitas kerja. Sebaliknya jika terlalu mengakomodasi kepentingan politik, pemerintahan ini beresiko menjadi tidak efektif dan lamban dalam mengambil keputusan.

Sebagai pemerintahan yang baru, Prabowo-Gibran tentu memiliki harapan besar dari rakyat. Mereka harus bisa membuktikan bahwa bagi-bagi kekuasaan ini tidak hanya sekedar strategi politik, tetapi juga cara untuk memastikan pemerintahan yang inklusif dan representatif.Jika mampu menjaga keseimbangan tersebut, pemerintahan ini memiliki peluang untuk menciptakan perubahan yang signifikan di Indonesia.

Di sisi lain, kegagalan dalam mengelola distribusi kekuasaan ini dapat menjadi bumerang bagi pemerintahan mereka sendiri. Jika tidak diantisipasi dengan baik, hal ini bisa memicu ketidakpuasan di kalangan masyarakat yang pada akhirnya merugikan legitimasi pemerintahan itu sendiri.

Sebagai putra Mandailing, saya mengucapkan Selamat dan Sukses untuk pemerintahan Prabowo-Gibran, Horas Tondi Madingin Pir Tondi Matogu Sayur Matua Bulung.

*Penulis adalah: Dosen dan Pemerhati Masalah Sosial Politik