Pancasila dan Cengkir Kelapa
Oleh Rahmat Hidayat Pulungan
Pepatah lama mengatakan, untuk menghayati dan mengamalkan ajaran luhur dalam kehidupan berbangsa diperlukan adanya usaha besar yang tidak mudah. Akan selalu ada tantangan yang mengiringi dalam setiap upaya penguatan ajaran atau nilai-nilai luhur tersebut.
Demikian pula halnya dengan upaya pengamalan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang memerlukan kesungguhan tekad serta konsistensi. Pancasila sebagai falsafah bangsa merupakan sistem nilai luhur yang final dan teruji. Kita sebagai generasi penerus tidak perlu repot mencari menu tentang landasan bernegara karena sudah disajikan secara khusus oleh para pendiri bangsa. Tetapi dalam tataran aktualisasi, Pancasila bukanlah makanan siap saji yang bisa langsung disantap.
Dari sejak awal kemerdekaan sampai masa sekarang, upaya untuk menegakkan nilai-nilai pancasila masih dan akan terus terjadi.
Soekarno sebagai penggali Pancasila saja tidak pernah berani mengatakan telah mampu mengamalkan Pancasila secara utuh . Pun demikian dengan Soeharto serta para pemimpin sesudahnya yang menyadari bahwa upaya penegakan nilai-nilai Pancasila ialah upaya kohesif yang bersifat terus-menerus.
Hari lahir Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Juni, hendaknya diposisikan sebagai momentum untuk mengukur sejauh mana usaha seluruh komponen bangsa dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Seusia Cengkir
Ibarat proses pertumbuhan buah kelapa, pengamalan nilai Pancasila kita mungkin masih seusia cengkir. Jangankan menjadi kelapa, bahkan untuk menjadi degan saja mungkin masih harus menempuh proses yang panjang. Kita tidak bisa mengklaim sudah mengamalkan Pancasila bila masih ditemukan pembelahan sosial di akar rumput yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan.
Kita tidak bisa mendeklarasikan diri telah mengaktualisasikan nilai Pancasila bila ketimpangan ekonomi yang disebabkan oleh masalah disparitas pembangunan masih terjadi. Pengamalan Pancasila juga masih merupakan pekerjaan rumah bila ternyata terdapat ketidakadilan yang diakibatkan oleh masih lemahnya penegakan hukum.
Pengamalan nilai Pancasila kita jelas masih seusia cengkir bila disana-sini masih terdapat narasi sentimen antar kelompok yang saling menyudutkan satu sama lain. Tumbuh suburnya budaya debat yang dipertontonkan sejumlah media juga cermin betapa masih belia-nya taraf kematangan kita terhadap pemahaman dan pengamalan nilai Pancasila.
Ajaran musyawarah yang termaktub dalam sila keempat kita punggungi dengan mengagungkan budaya berdebat. Padahal musyawarah dipilih sebagai mekanisme untuk mencapai mufakat yang di dalamnya terkandung nilai-nilai kolektif kesatuan.
Tidak mungkin musyawarah terjadi bila di dalam hati tiap-tiap tokoh kita hanya ada kelompok atau partai-nya saja. Tidak mungkin musyawarah terwujud bila di dalam ruang batinnya terdapat kebenaran versinya saja. Dengan lain perkataan, tidak mungkin musyawarah dilakukan bila di dalam hati seseorang tidak terdapat ruang bagi orang lain.
Silang pendapat antarkelompok yang terus menajam, ujaran kebencian, dan pelabelan yang diproduksi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya merupakan realitas yang mencerminkan minim-nya kesadaran sesama anak bangsa untuk menegakkan nilai-nilai Pancasila.
Bahkan pada tataran yang paling parah terdapat pandangan terhadap aspirasi keagamaan tertentu yang dianggap kontraproduktif dengan nasionalisme. Yang terakhir ini harus diakui sebagai suatu ironi. Tatkala keragaman suku dan budaya dianggap sebagai khazanah kekayaan identitas dan sekaligus modalitas bagi tegak-nya keutuhan kesatuan. Gerakan bercorak keagamaan malah dipersepsikan seolah sebagai sesuatu yang berpotensi mengancam kesatuan.
Padahal, agama memang mempunyai aspirasi dan spektrum urusan yang sangat luas termasuk menjangkau persoalan kebangsaan. Sila ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, serta keadilan adalah ajaran khas yang terkandung dalam agama. Fakta tersebut tidak dapat disangkal atau diingkari oleh argumentasi apa pun.
Begitu banyak pemuka agama dan negarawan telah menyatakan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai-nilai yang kompatibel (sejalan) dengan ajaran agama. Hal ini karena memang sumbernya berasal dari sana.
Jadi bila terdapat kelompok yang mencoba untuk membenturkan agama dengan Pancasila sama saja dengan membenturkan Ibu dan anaknya. Sebaliknya, tidak wajar bagi seseorang yang menyebut diri sebagai Pancasilais, tetapi masih mempunyai kecenderungan phobia terhadap aspirasi keagamaan.
Seorang yang mengaku Pancasilais harus berjiwa besar. Ia tidak cukup sekadar berjiwa nasionalis, tetapi juga harus berjiwa humanis. Ia harus berketuhanan dan mengayomi semua kelompok serta golongan.
Di lain pihak agama sebagai perwujudan nilai ilahiah yang luhur jangan dirubah menjadi entitas padat atau melembaga sebagai institusi gerakan politik keagamaan. Karena bila itu dilakukan maka sama saja dengan menurunkan kedudukan luhur agama. Ringkasnya agama memang tidak bisa ditempatkan sebagai kendaraan politik praktis untuk memenuhi hasrat satu atau dua kelompok tertentu saja.
Agama harus ditempatkan pada tempat yang semestinya. Yakni pada suatu tempat yang luhur yang menjadi sumber tata nilai, kebajikan dan arah peradaban bangsa. Bahkan Pancasila sebagai sistem nilai, dasar hukum dan falsafah negara mengadopsi spirit universal yang bersumber dari ajaran agama.
Ibarat sebuah kapal, Indonesia ini adalah kapal besar yang berada di tengah samudera. Dan, Pancasila merupakan alat navigasi yang amat diperlukan untuk mengarungi luasnya samudera kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila harus kita lihat sebagai navigasi yang membawa kita pada tujuan kemaslahatan bersama.
Kita harus terus berupaya untuk menghayati dan mengamalkan ajaran luhur yang tertuang dalam Pancasila. Kesadaran kita tentang perlunya pengamalan nila-nilai Pancasila harus terus dimatangkan sampai seusia kelapa. Sehingga kita tidak hanya dapat mengambil manis airnya, tetapi juga mengambil manfaat dari santannya.
*) Rahmat Hidayat Pulungan adalah Wakil Sekjen PBNU