Ons Jabeur, Idul Adha dan Wimbledon
Oleh Jafar M Sidik
Di beberapa negara muslim, termasuk Tunisia, Idul Adha dipandang lebih besar ketimbang Idul Fitri, dan untuk itu dirayakan pula dalam suasana yang lebih agung.
Tunisia adalah asal petenis putri nomor dua dunia, Ons Jabeur atau Anas Jabeur.
"Idul Adha itu hari raya yang penting bagi muslim yang sama dengan Natal di Inggris," kata Jabeur setelah mengalahkan sahabatnya, petenis Jerman Tatjana Maria, dalam semifinal Wimbledon 2022 di All England Club, London, Inggris.
Jika berhasil menjuarai Wimbledon yang juga gelar Grand Slam pertamanya yang sekaligus pertama bagi orang Arab dan Afrika, maka Jabeur mempersembahkan bingkisan istimewa kepada rekan sebangsanya di Tunisia yang merayakan Idul Adha pada hari dia bertanding dalam final Wimbledon melawan Elena Rybakina dari Kazakhstan yang juga berpenduduk mayoritas muslim. Tapi tak seperti Jabeur, Rybakina bukan muslim.
Mufti Besar Tunisia Othman Battikh sudah menyatakan Idul Adha di Tunisia jatuh pada Sabtu 9 Juli ini.
Jadi, Sabtu pagi (9/7/2022) waktu setempat yang berbarengan dengan Sabtu siang pukul 13.00 WIB nanti, masyarakat Tunisia, sebagaimana umumnya di Afrika Utara, akan menggelar salat Ied.
Itu berarti berlangsung tujuh jam sebelum final tunggal putri Wimbledon antara Jabeur dan Rybakina yang diadakan Sabtu malam pukul 20.00 WIB nanti.
Jabeur bisa disebut petenis muslim pertama yang masuk final Grand Slam setelah Marat Safin dari Rusia yang beretnis Tatar yang umumnya beragama Islam. Safin juga pernah menjuarai US Open dan Australian Open.
Jabeur yang dilahirkan di kota kecil Ksar Hellal di Tunisia pada 28 Agustus 1994 akan bertanding pada hari rekan-rekan sebangsanya di Tunisia merayakan Idul Adha.
"Seandainya saya berhasil (menjuarai Wimbledon) pada hari raya yang spesial itu, yang sebenarnya salah satu hari raya favorit saya, maka akan sungguh hebat," kata Jebeur.
"Saya selalu merindukan hari raya itu. Saya selalu ingin berada di tengah keluarga. Idul Adha selalu mengingatkan saya sewaktu kecil dulu."
"Saya memiliki momen-momen indah bersama keluarga saya saat hari raya itu. Hari raya ini seperti Natal bagi Anda semua," kata dia kepada penonton yang memadati arena utama Wimbledon di Centre Court di London itu.
“Sungguh akan menjadi perayaan yang spesial. Kami harus menikmatinya dan mudah-mudahan kami akan menikmatinya dalam nada positif," kata Jabeur tentang finalnya melawan Rybakina yang bertepatan dengan Idul Adha itu.
Menteri Kebahagiaan
Tetapi selama ini pun dia sudah menginspirasi bangsanya, bahkan di Tunisia dia dijuluki "Menteri Kebahagiaan".
Jabeur sendiri berharap bisa memenuhi harapan dari julukan itu dengan menjadi perempuan Afrika pertama dan sekaligus wanita Arab pertama yang menjuarai gelar juara tunggal putri Grand Slam di Wimbledon nanti malam.
"Akan sangat berarti bagi saya, bagi keluarga saya, bagi negara saya, untuk terus membuktikan bahwa tidak ada yang tidak mungkin dan jika Anda mencamkan baik-baik pandangan ini maka Anda bisa mencapainya," kata Jabeur kepada wartawan setelah mencapai 16 besar Wimbledon beberapa hari lalu.
"Orang-orang meneladani saya, mengharapkan saya bermain semakin baik. Saya harap saya terus menjadi orang yang memberikan hal yang mereka harapkan. Saya berusaha sebaik mungkin untuk memecahkan rekor, demi benar-benar membuka jalan untuk generasi berikutnya," sambung dia seperti dikutip The Guardian.
Pada usianya yang ke-27 tahun, Jabeur sudah mengambil peran pelopor untuk sesamanya di Tunisia, di dunia Arab dan di Afrika.
Dia menjadi perempuan Arab pertama yang menjuarai sebuah turnamen WTA ketika menjadi juara di Birmingham pada 2021.
Selanjutnya dia menjadi petenis Afrika dan Arab pertama yang menjuarai kelas turnamen WTA 1000 ketika menjadi kampiun di Madrid Open tahun ini.
Dan manakala melonjak ke peringkat dua dunia beberapa waktu lalu, Jabeur kembali membuat tonggak, menjadi petenis Afrika dan Arab pertama yang berperingkat paling tinggi sepanjang masa.
Kini dia menjadi petenis pertama Arab dan Afrika yang mencapai semifinal dan final turnamen Grand Slam. Dia di ambang menjadi juara Grand Slam pertama dari dua kawasan itu.
Dia menempuh semua itu dengan kerja keras, etos kerja yang tinggi, kesabaran, dan ketekunan, selain juga kelebihan tekniknya terutama slice dan drop shot yang mematikan yang menjadi andalannya.
Bahkan saat junior dulu dia disebut "Roger Federer putri” atas kemampuannya dalam melancarkan pukulan, khususnya slice.
Rupanya, Federer menyimak sepak terjang dia, dan ketika Jabeur mencapai perempatfinal turnamen Grand Slam untuk pertama kalinya, dia diselamati oleh Federer.
Drop shot maut
Bertinggi 167 cm, Jabeur sebenarnya tak terlalu bertumpu kepada kekuatan pukulan. Sebaliknya, dia mengandalkan kecerdikan dibarengi keinginan memainkan pertandingan dengan gembira.
Tetapi dia memiliki senjata maut yang ditakuti lawan-lawannya, yakni drop shot yang menjadi bagian integral dari permainannya. Drop shot mautnya tidak hanya menjadi penentu poin baginya tetapi juga perusak irama permainan lawan.
"Saya penggemar berat drop shot," akunya suatu ketika.
“Drop shot selalu berhasil karena pemain lain tidak yakin apa yang bakal terjadi di hadapannya, bola langsung atau drop shot. Pukulan ini sungguh mengejutkan lawan, membuat lawan mati langkah."
“Dan juga, ketika Anda melancarkan drop shot, lawan tak tahu apa yang terjadi nanti. Mereka tahu Anda bisa melepaskannya. Mereka tahu terpaksa lari. Dan beberapa pemain tidak terlalu senang terus menerus berlari ke depan," sambung Jabeur.
Setelah pertandingan semifinal melawan sahabat dekatnya, Tatjana Maria yang semua dari dua putrinya memanggil Jabeur dengan "Tante Ons", calon lawan Jabeur, Elena Rybakina, mengakui kehebatan petenis Tunisia itu dalam melancarkan drop shot dan slice.
"Pemain yang sangat licin. Pasti tidak akan mudah menghadapi dia," kata Rybakina.
Tetapi dulu Jabeur sebenarnya acap tak sabar di lapangan. Namun belakangan dia bisa mengelola emosinya yang pada akhirnya mengantarkan dia ke tingkat yang saat ini dia tapaki.
"Saya kian menyadari siapa diri saya, tubuh saya, mental saya. Dan itu semua membantu saya mengenali diri sendiri saat kondisi-kondisi sulit," kata petenis yang dinikahi Karim Kamoun yang kemudian menjadi pelatih fisiknya.
Kamoun yang atlet anggar Tunisia itu menikahi Jabeur pada 2015 setelah beberapa waktu lamanya memacari sang petenis.
Sejak 2017, Kamoun menjadi pelatih kebugaran untuk sang istri yang tiga kali membela Tunisia dalam tiga Olimpiade, yang masing-masing Olimpiade 2012, 2016 dan 2020.
Jabeur tersisih dalam babak pertama pada tiga Olimpiade tersebut, tetapi menurut dia bagian paling penting dalam Olimpiade adalah kebanggaan bisa mewakili negaranya.
Kini, petenis yang gila bola dan penggemar berat Real Madrid dan klub lokal Etoile Sportive du Sahel itu bersiap membuat negaranya kembali bangga dengan mempersembahkan trofi turnamen tenis paling tua dan bergengsi di dunia, tepat pada Idul Adha yang selalu menjadi momen istimewa bagi dirinya.(ANTARA)