Menyelamatkan Bahasa Daerah Melalui Penutur Muda

Meski terlihat cukup sederhana, namun para penutur muda 'menggendong' peran penting untuk menjaga kelangsungan hidup bahasa dan sastra Indonesia.

Menyelamatkan Bahasa Daerah Melalui Penutur Muda
Ilustrasi

Oleh Alexander Arie Wauran

Keanekaragaman 718 bahasa daerah dan 778 dialek dari 2.560 daerah yang tersebar dari Aceh hingga Papua merupakan kekayaan budaya bangsa Indonesia yang harus dijaga dan dilestarikan.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Badan Pengembangan dan Pendidikan Pembinaan Bahasa terus melakukan upaya guna menjaga dan melestarikan bahasa daerah di Nusantara tersebut di antaranya melalui program revitalisasi bahasa daerah untuk melindungi dan menyelamatkan bahasa daerah di Indonesia yang terancam punah.

Program revitalisasi bahasa daerah ini menyasar generasi muda, anak usia setingkat SD, SMP, dan SMA, dan komunitas pencinta bahasa. Program itu menitikberatkan pada peran generasi muda untuk mempelajari, merawat dan mewariskan bahasa daerah kepada generasi-generasi selanjutnya.

Untuk memperkuat program itu, Kemendikbudristek memasukkan revitalisasi bahasa daerah ke dalam skema "Merdeka Belajar” episode ke-17.

Melalui revitalisasi bahasa daerah dalam platform “Merdeka Belajar”, maka diharapkan program itu dapat dilakukan masif dan bertahap di seluruh institusi pendidikan di Indonesia.

Dengan memasukkan revitalisasi bahasa daerah dalam “Merdeka Belajar”, maka lingkungan sekolah dapat melakukan regenerasi melalui "penutur muda" di tingkat sekolah dasar dan menengah. Para penutur muda juga diperbolehkan berkreasi dalam penggunaan bahasanya.

Kemendikbudristek juga melakukan revitalisasi di tiga wilayah yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan untuk lima bahasa. Di Jawa Barat adalah bahasa Sunda, Jawa Tengah berupa bahasa Jawa, Sulawesi Selatan dengan tiga bahasa yaitu Makassar, Bugis, dan Toraja.

Untuk tahun 2022 terjadi penambahan 10 provinsi dan 34 bahasa daerah, sehingga menjadi 13 provinsi dan 39 bahasa daerah, kata Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, Imam Budi Utomo, M.Hum.

Kemudian pada tahun 2023 bertambah 12 provinsi sehingga menjadi 25 provinsi dan jumlah bahasanya menjadi 72 bahasa daerah. Tahun 2024, target semua provinsi di Indonesia.

Kegiatan Revitalisasi yang dilakukan adalah sifatnya berkelanjutan, dengan tidak meninggalkan provinsi atau bahasa yang sudah direvitalisasi pada tahun sebelumnya, tetap diikutkan.

Penutur Muda

Implementasi dilakukan dengan melibatkan setiap elemen pemangku kepentingan yaitu pemerintah pusat, pemda dan penutur muda. Pelaksanaan terintegrasi dengan sekolah, keluarga, serta masyarakat, dengan pengutamaan media digital dan fleksibilitas, sesuai dengan situasi kondisi daerah.

Agar bahasa daerah dapat terjaga dari kepunahan, para penutur muda dapat menjadi penutur aktif bahasa daerah dan memiliki kemauan untuk mempelajari bahasa daerah dengan penuh suka cita melalui media yang disukai.

Meski terlihat cukup sederhana, namun para penutur muda menggendong peran penting untuk menjaga kelangsungan hidup bahasa dan sastra Indonesia, dengan menciptakan ruang kreativitas dan kemerdekaan bagi para penutur bahasa daerah guna mempertahankan bahasanya menemukan fungsi, juga ranah baru, dari sebuah bahasa dan sastra daerah.

Selain program revitalisasi bahasa daerah, ada sejumlah program lain yang dikumandangkan oleh Kemendikbudristek dalam melindungi bahasa daerah yaitu program Pemetaan, Kajian Vitalitas, konservasi, dan Registrasi bahasa.

Saat ini, sebanyak 18 bahasa daerah dinyatakan aman karena masih dipakai oleh kalangan di dalam etnis tersebut. Namun terdapat 31 bahasa yang rentan karena jumlah penutur yang relatif sedikit.

Adapun 43 bahasa daerah mengalami kemunduran sebab sebagian penutur, baik anak-anak, remaja, maupun generasi tua tidak lagi menggunakannya. Sedangkan 29 bahasa daerah terancam punah karena mayoritas penutur berusia 20 tahun ke atas dan generasi tua tidak berbicara kepada anak-anak atau di antara mereka sendiri dengan bahasa daerah.

Selain itu, terdapat 8 bahasa daerah yang masuk kategori kritis karena penutur hanya kelompok masyarakat berusia 40 tahun ke atas dan jumlahnya sangat sedikit, dan 11 bahasa daerah dinyatakan punah karena tidak ada lagi penutur.

Tantangan yang dihadapi

Data UNESCO menyebutkan dalam kurun waktu 30 tahun terakhir terdapat 200 bahasa di dunia yang punah. Kepunahan bahasa itu terjadi karena para penutur tidak lagi menggunakan atau mewariskan bahasa tersebut kepada generasi berikutnya.

Untuk mencegah hal tersebut terjadi di Nusantara, Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra Kemendikbudristek, Muh Abdul Khak, mengatakan kegiatan revitalisasi bahasa daerah penting dilakukan untuk menjaga kelestarian bahasa yang menjadi simbol kekayaan budaya bangsa.

“Bahwa isu bahasa daerah sudah menjadi isu internasional. Kita semua harus menjaga eksistensi bahasa daerah ini,” kata Abdul Khak.

Kegiatan revitalisasi bahasa daerah tersebut akan menggunakan dua model, yaitu menargetkan bahasa daerah yang akan punah dan bahasa daerah yang penuturnya banyak namun mengalami penurunan penutur muda.

Untuk mempertahankan eksistensi bahasa daerah di wilayahnya, yang paling mudah dilakukan adalah dengan memakai bahasa lokal dalam komunikasi keseharian di tengah keluarga dan masyarakat.

Di sisi lain, perlu juga dorongan dari pemerintah daerah agar program revitalisasi bahasa daerah itu dapat berlangsung secara berkesinambungan. Pemerintah daerah dan Kemendikbudristek juga perlu menciptakan berbagai program pendidikan dan kebudayaan guna menjaring para penutur muda, dengan harapan bahasa-bahasa daerah di Indonesia bisa tetap lestari dan menjadi simbol kekayaan bangsa Indonesia.(*/ANTARA)