Mendorong Visi Kemandirian Pangan Pemerintahan Baru
Founding father bangsa Indonesia, Presiden Sukarno, sudah mengingatkan kita bahwa "pangan adalah hidup matinya suatu bangsa."
Oleh: Guntur Subagja Mahardika*
Prabowo Subianto sebentar lagi akan dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia periode 2024-2029. Bersama pasangannya Gibran Rakabuming Raka, Prabowo memiliki visi besar Membawa Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045.
Untuk menggapai visi itu, ada 8 misi yang dikemas dalam Asta Cita. Kedelapan misi tersebut bakal diimplementasikan melalui 17 program prioritas dengan 8 program hasil terbaik cepat yang akan menjadi quick win pemerintahan Prabowo.
Menelaah delapan misi Asta Cita dapat menjadi jawaban dari permasalahan dan tantangan bangsa Indonesia saat ini dan ke depan. Pertama, memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM). Kedua, memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru.
Ketiga, meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas, mendorong kewirausahaan, mengembangkan industri kreatif, melanjutkan pengembangan infrastruktur. Keempat, memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM), sains, teknologi, pendidikan, Kesehatan, prestasi olahraga, kesetaraan gender, serta penguatan peran perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas. Kelima, melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri.
Keenam, membangun dari desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan. Ketujuh, memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba. Dan, kedelapan, memperkuat penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan, alam, dan budaya, serta peningkatan toleransi antarumat beragama untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Tentu, visi dan misi besar itu bukan hanya lips service yang menjadi konsumsi publik dan gimmick kampanye saja. Lebih dari itu semua, ini adalah solusi terhadap permasalahan bangsa yang harus diimplementasikan dalam lima tahun. Kali ini saya akan membahas salah satu poin yang tertuang dalam delapan misi, yang menjadi permasalahan saat ini dan tantangan ke depan. Yaitu, poin yang tercantum dalam misi kedua Prabowo: Memantapkan pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan.
Perut Rakyat
Masalah pangan adalah masalah perut rakyat. Bila permasalahan ini tidak diatasi, persoalannya akan berdampak besar bukan hanya pada masalah kesehatan, sosial, ekonomi, dan memicu kriminalitas, tapi juga besar dampaknya terhadap kekokohan negara dalam bingkai persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia. Founding father bangsa Indonesia, Presiden Sukarno sudah mengingatkan kita bahwa "pangan adalah hidup matinya suatu bangsa."
Dalam pidatonya menjelang peletakan batu pertama Gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia, yang menjadi cikal bakal Institut Pertanian Bogor (IPB), 27 April 1952, Bung Karno mengajak para pemuda dan bangsa Indonesia membangun kemandirian pangan. Bung Karno yang memiliki gaya retorika yang khas, berapi-api, dan mampu membakar semangat rakyat Indonesia, yang biasanya kerap berpidato secara lisan, kali itu menyampaikan pidatonya juga dalam lembar tulisan.
"Dengan sengaja pidato saya ini saya tuliskan, agar supaya merupakan risalah yang nanti dapat dibaca dan dibaca lagi dan dibaca lagi oleh pemuda-pemudi kita, bukan saja dari sekolah tinggi ini, tetapi dari seluruh tanah air kita," ungkapnya mempertegas bahwa masalah pertanian tersebut sangat penting. "Sebab apa yang hendak saya katakan itu adalah amat penting bagi kita, amat-penting bahkan mengenai soal mati-hidupnya bangsa kita di kemudian hari," tegas Bung Karno.
Saat Bung Karno berpidato, penduduk Indonesia masih berjumlah 75 juta jiwa. Namun, negeri ini sudah mengalami ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi pangan, khususnya padi. Kebutuhan beras saat itu mencapai 6,45 juta ton (rata-rata konsumsi 86 kg beras per orang per tahun), sedangkan produksi beras hanya 5,5 juta ton. Karena itu ia mengingatkan persediaan pangan harus ditingkatkan dengan; pertama, memperluas daerah pertanian, dan kedua, menggiatkan usaha pertanian.
Selain mengembangkan pertanian sawah untuk meningkatkan produksi, Bung Karno juga mengajak masyarakat memproduktifkan lahan kering. Ada empat langkah yang ditekankan Bung Karno. Pertama, melakukan pemupukan, baik pupuk kandang dan pupuk hijau. Bila kurang baru ditambahkan pu[uk tiruan. Kedua, melakukan seleksi bagi lahan kering, dengan mengembangkan padi gogo. Ketiga, harus melipatgandakan hewan ternak. Peternakan adalah syarat mutlak untuk pertanian di tanah kering. Keempat, mekanisasi. Sudah sejak lama, Bung Karno menekankan pentingnya mekanisasi dalam pengembangan pertanian.
Apa yang diungkapkan Bung Karno masih sangat relevan untuk mengatasi permasalahan pangan bangsa ini. Pun demikian pada masa pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto, persoalan pangan menjadi prioritas. Pada 1969, produksi beras nasional hanya sekitar 12 juta ton, masih kurang dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi penduduk. Saat itu pemerintah mengembangkan program intensifikasi dan ekstensifikasi melalui program Bimbingan Masal (Bimas).
Lewat Bimas, petani memperoleh intensifikasi masal (Inmas) dan intensifikasi khusus (Insus), seraya pemerintah juga melakukan diversifikasi pertanian. Pemerintah memberikan bantuan pupuk dan pestisida. Lima belas tahun kemudian, Indonesia memperoleh predikat swasembada pangan dari Organisasi Pangan Dunia (FAO), yang disampaikan Direktur Jenderal FAO, Edward Saouma, pada 14 November 1985.
Predikat swasembada pangan terkikis seiring dengan bertambahnya penduduk Indonesia dan dampak pembangunan yang tidak berkelanjutan, merusak lingkungan, bahkan menggusur lahan-lahan produksi pertanian. Akhirnya, Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri dan kembali menjadi pengimpor beras. Sudah puluhan tahun Indonesia mengimpor beras jutaan ton. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2018 impor beras Indonesia menembus lebih 2 juta ton.
Impor terus berlangsung setiap tahunnya, dan puncaknya pada 2023, impor beras mencapai 3.062.857 ton. Impor 2023 nilainya mencapai 1,789 miliar dolar AS atau sekitar Rp 28 triliun dana lari keluar dan dinikmati petani negara lain. Sumber impor beras Indonesia adalah dari India, Vietnam, Thailand, Pakistan, Myanmar, Jepang, dan Tiongkok. Produksi padi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami penurunan.
BPS mengungkapkan, pada 2023, luas panen padi mencapai sekitar 10,21 juta hektar dengan produksi padi sebesar 53,98 juta ton gabah kering giling (GKG). Jika dikonversikan, menjadi beras 31,10 juta ton. Dibandingkan tahun sebelumnya, produksi padi turun 0,77 juta ton GKG. Bukan hanya beras. Pada 2023 Indonesia juga mengimpor kedelai 2 juta ton (90 persen diimpor dari Amerika Serikat). Impor gula 5 juta ton (terbanyak dari Thailand dan Brasil), impor jagung 1,24 juta ton, impor gandum dan meslin 10,58 juta ton. Bawang putih impor sebanyak 564.027 ton dengan nilai 648,47 juta dolar AS pada 2023.
Bawang merah, cabai, dan buah-buahan juga kini banyak impor. Komoditas pangan lainnya, impor daging sapi dan sejenis lembu setiap tahun terus meningkat. Pada 2023 impor daging sapi mencapai 238,433 ribu ton, sebagian besar disuplai dari India dan Australia. Impor daging sapi bakal meningkat 2024, Badan Pangan Nasional (Bapanas) sudah merancang impor daging sapi, bakalan, dan kerbau mencapai 389.024 ton. Sementara produksi daging sapi dalam negeri diperkirakan 422.649 ton.
Tantangan Besar
Realita ini yang menjadi tantangan besar pemerintahan Prabowo ke depan. Dengan potensi Indonesia sebagai negara agraris dan memiliki lahan luas dan subur, semestinya mampu memenuhi kebutuhan dasar penduduknya, khususnya pangan yang diproduksi dalam dalam negeri sendiri. Tantangan meningkatkan produksi pangan memang tidak mudah. Beberapa strategi yang dilakukan pemerintah antara lain dengan mencetak lahan baru, melalui program pembangunan sejuta hektar sawah, pembangunan food estate, belum membuahkan hasil sesuai harapan.
Perlu langkah dan kebijakan strategis yang terintegrasi dan terstruktur, inter-kementerian dan lembaga pemerintah, yang juga melibatkan unsur masyarakat, TNI, BUMN, dan swasta untuk mengakselerasi kemandirian pangan dan memperkuat ketahanan pangan nasional berbasis produksi pangan lokal. Pola pikir usang membangun ketahanan pangan dengan memperbanyak ketersediaan pangan barang impor sudah tidak relevan lagi. Perlu perubahan paradigma yang mendasar, membangun ketahanan pangan dengan mengoptimalkan potensi dan mengembangkan sumber daya yang dimiliki sendiri.
Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki kekayaan sumber daya alam berlimpah dan mempunyai sumber saya manusia yang banyak. Intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, dengan pendekatan teknologi pertanian yang semakin berkembang, selain akan mampu meningkatkan produksi pangan nasional, juga bakal menciptakan lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja nasional.
Semangat dan keberpihakan Prabowo terhadap pertanian sudah dimulai sejak memimpin organisasi petani Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) pada 2004. Pemetaan permasalahan pertanian, termasuk peternakan dan perikanan, boleh jadi sudah dilakukannya sejak lama. Dan, dengan power-nya sebagai Presiden Republik Indonesia dan visi besarnya, optimis bakal mampu mengatasi permasalahan dasar petani, peternak, dan nelayan nasional Indonesia, sehingga bisa meningkatkan produksi menuju kemandirian pertanian dan kedaulatan pangan nasional.
Harapan mandiri pangan tentu tidak hanya cukup mengandalkan pemerintah. Masyarakat, aktivis, akademisi, media, dan para pelaku ekonomi juga harus berpartisipasi aktif dengan berkarya sesuai kapasitasnya masing-masing mengoptimalkan potensi pangan nasional dan mengubah mindset untuk mengonsumsi produk pangan lokal yang diproduksi petani Indonesia sendiri. Saatnya kita meresapi dan mengimplementasikan filosofi nenek moyang kita, "Nandur opo sing dipangan, mangan opo sing ditandur".
Filosofi yang menjadi nilai-nilai luhur bangsa ini tidak hanya menjadi pegangan orang dulu di Jawa, tapi juga di pegangan hidup orang-orang dulu di daerah-daerah lainnya di Nusantara: "Makan apa yang ditanam, tanam apa yang dimakan." Filosofi ini pula yang kami terapkan di organisasi petani dan nelayan yang saya pimpin, Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (INTANI). Implementasinya, kalau kita tidak menanam gandum, tidak perlu makan terigu. Ganti dengan tepung mocaf (modified cassava flour) yang berbahan baku singkong yang banyak diproduksi petani Nusantara.
Kalau kita tidak menanam kedelai, tidak perlu makan tahu-tempe. Banyak makanan pengganti yang memiliki protein tinggi, baik dari biji-bijian semacam kacang koro atau kedelai lokal maupun dari sumber protein lainnya seperti ikan laut, ikan sungai, maupun ikan budidaya, yang dapat menjadi makanan bergizi rakyat. Mari kita konsumsi pangan dan makanan yang diproduksi bangsa sendiri!
*Penulis adalah Ketua Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (INTANI)