Membangun Resiliensi Karyawan di Tengah Pandemi, Caranya? 

Membangun Resiliensi Karyawan di Tengah Pandemi, Caranya? 

MONDE--Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (F.Psi UI) menyelenggarakan seminar dengan tema “Membangun Resiliensi Karyawan di Tengah Pandemi” yang memaparkan hasil penelitian F.Psi.

Topik bahasannya adalah tentang sektor ketenagakerjaan, khususnya mengenai cara membangun resiliensi karyawan dan peran perusahaan dalam menjaga resiliensi tersebut.

“Fakultas Psikologi UI memandang perlu melihat kesiapan mental karyawan di berbagai sektor usaha atau lembaga agar dapat memberikan wawasan dalam membantu usaha intervensi guna meningkatkan kemampuan resiliensi para karyawan. Hal ini juga dilakukan pada karyawan dalam lingkungan kampus Fakultas Psikologi UI,” ujar Dekan Fakultas Psikologi UI, Dr. Tjut Rifameutia Umar Ali, M.A.

Direktur Mercer Indonesia, Isdar Andre Marwan, S.Psi., Psikolog, yang juga anggota peneliti, berharap perusahaan lebih peduli terhadap well being dan kesehatan mental para karyawan, “Karena ternyata menurut penelitian kami, terdapat peningkatan stres pada karyawan sebesar tiga kali lipat atau sebesar 50% selama masa pandemi,” ujarnya.

Peningkatan stres ini tentu merupakan tanda bahaya bagi upaya membangun resiliensi karyawan yang dapat dilihat dalam tiga aspek, yaitu work life balance, lack of control, dan inclusiveness.

Dalam aspek work life balance, ditemukan fakta bahwa 97% responden melaporkan bahwa mereka dihadapkan dengan situasi hilangnya batas antara kehidupan personal dan profesional, disertai tuntutan dari tempat kerja untuk tetap fokus dalam pekerjaan. Dari aspek lack of control, ditemukan bahwa 83% responden melaporkan bahwa terdapat tuntutan lebih dari tempat kerja mereka untuk bekerja lembur atau bekerja di hari libur.

Dibanding kedua aspek lainnya, aspek inclusiveness memiliki persentase yang paling rendah yaitu 61% responden merasa sering menerima kritik dalam pekerjaan yang mereka lakukan.

Ketiga kondisi ini menyebabkan 40,7% karyawan memiliki resiliensi yang rendah dan 40,5% karyawan memiliki resiliensi yang normal. Angka tersebut mengejutkan, karena tingkat angka resiliensi rendah dan normal dalam penelitian ini ternyata hampir setara.

“Hal ini menunjukkan bahwa karyawan cenderung memiliki resiliensi yang tinggi di dalam masa pandemi ini, seperti tingkat kesehatan mental yang tinggi, tingkat depresi yang rendah, dan tingkat kepuasan hidup yang berada pada level agak puas. Di sisi lain, terdapat beberapa emosi negatif yang cenderung muncul pada karyawan di masa pandemi ini, yaitu kesulitan memperoleh emosi positif dan suasana hati negatif yang tidak biasa dan berkepanjangan,” ujar Isdar.

Pada sesi diskusi panel, dihadirkan dua pembicara, yakni Dosen Fakultas Psikologi UI, Dr. Endang Parahyanti, M.Psi., M.M, Psikolog, dan Ir. Aloysius Budi Santoso, M.M. selaku Chief of Human Resource and Organization PT Astra International--sebagai penanggap pemaparan.

Dalam kesempatan tersebut, Endang Parahyanti, atau yang akrab disapa Yanti, menyampaikan bahwa ia setuju dengan ketiga aspek yang disampaikan sebelumnya tentang faktor yang dapat memengaruhi kinerja karyawan.

Selain ketiga aspek tersebut, Yanti menambahkan bahwa faktor dukungan dari keluarga dan teman, kondisi lingkungan, dan kepercayaan diri seorang karyawan dapat memengaruhi tingkat resiliensi seseorang.

Kelola Emosi

Berangkat dari kondisi tersebut, kata Yanti, ada beberapa cara yang dapat dilakukan karyawan untuk membangun resiliensi. Bagi individu, diperlukan kemampuan mengelola emosi, kemampuan merespons dinamika tuntutan pekerjaan, dan keyakinan untuk dapat melewati tantangan. Jika ditinjau dari segi keluarga dan teman, diperlukan dukungan moril, adanya unsur kepemilikan, dan mengurangi terjadinya konflik.

Untuk segi manajemen, perusahaan dapat membangun resiliensi karyawan dengan cara menyelenggarakan pelatihan dan pengembangan kesehatan mental, budaya suportif, umpan balik atas pekerjaan, dan mengupayakan fleksibilitas terhadap karyawan.

“Resiliensi karyawan di masa pandemi dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal yang berasal dari dalam diri karyawan, dan faktor eksternal yang berasal dari lingkungan sekitarnya terutama lingkungan keluarga, pertemanan, dan kantor,” kata Yanti.

Bangun Rasa Nyaman

Tanggapan serupa juga disampaikan oleh Aloysius. Menurutnya, resiliensi karyawan cenderung memiliki angka yang normal dikarenakan pendapatan mereka yang stabil, meskipun terdapat kecemasan yang cenderung meningkat karena rasa takut akan kemungkinan pemecatan.

Untuk mencegah emosi-emosi negatif tersebut, Aloysius mengatakan bahwa perusahaan dapat melakukan beberapa hal untuk membangun rasa nyaman bagi karyawan yang harus juga diimbangi oleh upaya pribadi masing-masing karyawan dalam meningkatkan resiliensinya.

“Perusahaan dapat membangun rasa nyaman bagi karyawan dengan melakukan beberapa hal seperti menjadikan tempat kerja sebagai bagian dari keluarga yang suportif, empati yang lebih besar dari atasan, mendorong kreativitas karyawan, dan menciptakan program-program untuk meningkatkan kesehatan mental karyawan. Selain itu, dari sisi karyawan, mereka juga dapat meningkatkan resiliensi dirinya sendiri dengan cara mengelola emosi, meningkatkan hubungan yang berkualitas dengan orang-orang sekitar, dan tetap menjadi diri sendiri,” kata Aloysius.

Penelitian ini mengambil sampel sebanyak 1.003 responden yang berprofesi sebagai karyawan dari seluruh provinsi di Indonesia pada bulan Mei-Juni 2021.

Mayoritas responden adalah perempuan dengan perbandingan 2:3 antara laki-laki dengan perempuan, klasifikasi umur yang dominan pada responden adalah generasi X sebesar 49%, responden generasi Y sebesar 40%, dengan tingkat pendidikan dominan adalah 59% sarjana dan 24% merupakan lulusan pascasarjana.

Penelitian yang disampaikan pada 14 Agustus 2021 ini adalah bagian dari riset yang dilakukan tim alumni dalam merayakan kegiatan Dies Natalis ke-61 F.Psi UI.(*/md)