Kopi Hitam hingga Filofosi Susah tapi Bahagia di Balik Halal Bi Halal
Suasana halal bi halal 'Pentagon' kelompok 3 jurnalistik 89 University of LA 32 benar-benar cair.
MONDE - Kopi hitam itu terasa nikmat. Aromanya kuat dan bersahabat. Saya seruput sedikit demi sedikit. Merasakan pahit dan manisnya yang melekat.
"Itu kopi dari Bengkulu, asli," kata Kunto Wibisono yang meracik kopi hangat jelang siang hari itu.
Tak terasa - saya yang tak biasa seruput kopi hitam- 'terhipnotis' nikmatnya seruput kopi hangat. Hanya ampas yang tersisa di gelas. Dalam sekejab.
Mungkin karena terbawa oleh asyiknya obrolan ngawur ngidul. Mulai dari yang lucu-lucu, mengulik masa lalu, hingga kadang nakal menggoda soal negeri tercinta ini. Tapi, tidak serius sepeti anggota dewan di Senayan.
Uniknya, tak ada 'nyerempet' soal profesi wartawan yang kami tekuni selama ini. Saya coba sesekali memancing. Jawabnya datar-datar saja.
"Gue sudah pensiun muda tahun lalu," kata Widho Roso, mantan wartawan Media Indonesia.
Saya tak ingin cari tahu alasannya. Saya juga tak berani meraba-raba lubuk hatinya. Tapi, saya bisa merasakan kebahagiaan dari raut wajahnya.
Kunto sang empuh reuni kecil-kecilan-- mengaku sudah lama tidak aktif menulis. Sebelumnya, novel-novel karyanya terpampang di toko buku.
"Gue bingung, waktu istri tugas di Maluku Utara, gue aktif menulis. Tapi, istri balik malah jari-jari ini menjauh dari komputer," tuturnya.
Suasana halal bi halal 'Pentagon' kelompok 3 jurnalistik 89 University of LA 32 benar-benar cair. Meski banyak yang berhalangan--karena kesibukan- tetap tak mengurangi keguyuban.
Saya yang pertama kali ikut reunian sejak lulus tahun 1994, masih hapal wajah teman-teman, meski rambut tak lagi hitam. Meski perut sudah agak ke depan.
Tapi, kelakuan tak bisa disapu bersih. Celetukannya masih seperti dulu. Penuh canda dan tawa bikin langit pecah.
Sabtu 12 April 2025, angkatan 89 LA 32 kembali berkumpul setelah tiga dekade lebih. Kali ini di rumah Kunto di bilangan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat.
Reuni ini bukan sekadar nostalgia. Tapi cermin waktu yang memantulkan cerita hidup masing-masing.
Sufrendy Siregar tiba lebih awal. Rambutnya kini disaput uban tipis-tipis. Tapi ia tetap gagah meski memasuki usia senja.
"Kebetulan tadi abis dapat sewa di Perigi, Depok, langsung ke sini," kata Sufrendy yang mengaku jadi driver Blue Bird.
Beller- begitu ia disapa- sudah kenyang makan asam garam kehidupan. Berbagai pekerjaan dilakoni. Mulai dari yang ringan hingga penuh tantangan. Ia tampak happy.
Ia pun berbagi cerita dan pengalamannya sebagai intelijen siber negara.
Beller juga aktif di organisasi Garuda Kencana Nusantara Indonesia (GKNI) sebagai Sekjen. Ketuanya Bayu Soekarno Putra. Anak ke-11 dari Presiden Soerkarno dan Hartini.
"Berarti driver cuma samaran," timpal saya memotong cerita. Beller tidak membantah. Ia juga tidak menganggukan kepala.
Sosok yang satu ini sejak pertama kali kami bertemu LA 32 University pada 1989 dikenal pemberani. Tapi, hatinya sebenarnya lembut.
Ia pasang badan di barisan depan jika teman dalam masalah. Solidaritasnya tak diragukan.
Ia rajin menyambangi teman, dimana pun berada. Sangat menghargai pertemanan dan setia kawan.
Saat ini ia boleh jadi pembisik banyak tokoh di negeri ini. Bahkan, tembok istana yang kokoh pun bisa dia tembus hanya untuk menyampaikan "bisikan" yang ngeri-ngeri sedap.
"Kami sudah sampaikan ke RI 1, entah diterima atau tidak masukan itu," ujarnya meyakinkan kami soal situasi negeri ini.
Beller memang kontroversial. Tapi pergaulannya dengan orang-orang tertentu membuatnya tahu kondisi negeri ini yang sedang tidak baik-baik saja.
Dia adalah kawan yang menyenangkan. Pola hidupnya ia jalani dengan memperagakan "kick and rush" sepak bola tradisi Inggris.
Tapi, ia tidak harus berperan sebagai Geoff Hurst yang mencetak hattrick saat Inggris menaklukkan Jerman Barat 4-2 di final piala Dunia 1966.
Berjalan apa adanya dan ia jalani dengan langkah-langkah kakinya; sekali pun perjalanan yang ia harus lalui itu terjal, tajam, dan berliku.
"Biar susah yang penting bahagia," ujarnya berfilosofi.
Saya menggodanya dengan meminta detail maksud filosofi itu. Santos yang iseng dengan nada bercanda menyela: "Itu cuma curhat aja. Pura-pura susah."
Kontan yang lain tertawa. Bisa jadi. Tapi, Beller tetap tenang dengan ceritanya. Saya tak paham teori apa yang dia pakai. Tapi, setelah dicermati, ada benarnya juga. Tergantung dari sudut apa kita memandangnya.
Hidup itu berjalan secara dinamis dan kadang susah ditebak. Ada saat kita harus melihat jauh ke dalam diri. Untuk bisa melewati kesulitan dan percaya pada kekuatan diri sendiri.
Terima kasih kawan sudah berbagi pelajaran berharga soal kehidupan.
Kopi pagi jelang siang telah memberi energi dalam reuni. Saya pun izin pamit pulang sebelum matahari sore datang.
"Tiga bulan lagi kita ngupi bareng lagi di tempat berbeda ya," imbuh Elvy Widho Roso.