Idul Fitri Tangkis Intoleransi dan Ekstremisme
MONDE--Idul Fitri merupakan proses spiritual untuk kembali terlahir menjadi insan fitri yang suci dan bebas dari kebencian, intoleransi, dan ekstremisme.
Hal itu dikatakan Guru Besar Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Bambang Qomaruzzaman, Jumat (21/4/2023).
“Idul Fitri berarti kembali menyadari tugas seorang Mukmin untuk dunia kehidupan ini, bukan untuk kelompoknya, untuk seluruh alam. Sebagai pengelola, manusia mendapatkan tugas memakmurkan kehidupan dunia, memberikan rasa keadilan dan kasih sayang pada semua makhluk,” ujarnya.
Bambang menyebut Idul Fitri sebagai momentum back to the ground. Artinya, hari raya ini adalah waktu yang tepat untuk menyadari kelemahan masing-masing diri dan menginsafi kekuatan hidup bersama.
Idul Fitri kemudian melahirkan kemenangan yang ditandai dengan munculnya tiga kualitas diri, yakni pribadi yang menahan amarah, pribadi yang pemaaf, dan pribadi yang berbuat kebaikan.
“Semua mengharapkan muncul pribadi yang memenangkan perjuangan melawan hawa nafsu. Kemenangan itu ditandai dengan munculnya pribadi taqwa yang al-kazhiminal ghayza (orang-orang yang menahan amarahnya), wal ‘afina ‘aninnas (memaafkan kesalahan orang), dan pribadi yang berbuat ihsan (muhsinin) seperti dikemukakan Ali Imran: 134,” katanya.
Dia pun menjelaskan ketiga kualitas tersebut. Pertama, mampu menahan amarah, kata Bambang, berarti pribadi yang memiliki kecerdasan emosional, sehingga tidak mudah melampiaskan kemarahan dan tidak menimbulkan dampak ekstrem bagi sekitarnya
“Kedua, yakni memaafkan semua manusia (al-afina aninnas), ini berarti peraih idul fitri adalah orang tidak memelihara dendam, tidak menyimpan kesalahan orang lain lalu menjadikannya alasan untuk berbuat destruktif. Membersihkan hati dari kesalahan orang lain agar tak ada alasan lagi melakukan kekerasan,” ujarnya.
Sementara kualitas diri yang ketiga, yakni pribadi yang berbuat kebaikan berarti pribadi yang senantiasa berbuat baik kepada semua pihak tanpa syarat.
Menurut Bambang, ketiga kualitas diri tersebut dibutuhkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dia mengatakan, apabila suatu negara dipenuhi dengan kepribadian tersebut, maka akan tercipta kerukunan antarmasyarakat.
"Dengan tiga kualitas peraih Idul Fitri yang bisa mengelola emosi, tidak memelihara dendam kesumat, dan muhsinin pada semua manusia, tak ada alasan untuk tidak merasa bersaudara dan solidaritas pada pemeluk agama lain,” ujarnya.
Lebih dari itu, Idul Fitri juga menjadi momentum untuk mempererat tali persaudaraan dan solidaritas. Tidak hanya sesama umat Islam, tetapi juga dengan masyarakat pemeluk agama lain.
Dalam mewujudkan Idul Fitri sebagai pengukuhan insan fitri yang suci dari intoleransi dan ekstremisme tersebut, Bambang berharap adanya dukungan dari berbagai pihak. Khususnya, para pemimpin agama, tokoh masyarakat, dan pemerintah dalam mempromosikan toleransi di masyarakat.
"Pemimpin agama harus menyadari posisinya, sehingga ia harus mengelola perkataan, perbuatannya, sekaligus diamnya agar tidak menjadi pemicu bagi perilaku agresif. Karena itu, pemuka agama dan aparat pemerintahan harus sadar diri, jaga ucapan, jaga sikap dan juga perilaku,” kata Bambang.(ant)