Fenomena FOMO 'Menjebak' Pilihan Karir Gen Z

FOMO tidak hanya mempengaruhi pemilihan jurusan, tetapi juga cara Gen Z mempersiapkan diri untuk memasuki dunia kerja.

Fenomena FOMO 'Menjebak' Pilihan Karir Gen Z
Ilustrasi

Oleh Alifia Nadia Ruksana *)

Di era digital saat ini, fenomena FOMO (Fear of Missing Out) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama di kalangan Generasi Z (Gen Z).

Ketika memilih karier, banyak dari mereka yang terpengaruh oleh tekanan sosial dan ekspektasi yang tinggi, baik dari lingkungan sekitar maupun media sosial. Jurusan Informatika, misalnya, menjadi salah satu pilihan utama bagi calon mahasiswa yang ingin mengejar karier di bidang teknologi. Namun, di balik gemerlap peluang tersebut, terdapat tantangan yang tidak kecil yang harus dihadapi.

Artikel ini akan membahas bagaimana FOMO mempengaruhi pilihan karier Gen Z, serta dampaknya terhadap kesehatan mental dan perkembangan keterampilan mereka.

Pesatnya perkembangan dunia teknologi membuat jurusan Informatika menjadi salah satu target utama bagi calon mahasiswa. Data dari Asosiasi Pendidikan Tinggi Informatika dan Komputer (APTIKOM) menunjukkan bahwa pada tahun 2020, terdapat sekitar 70.000 pendaftar di seluruh Indonesia untuk jurusan Informatika.

Angka ini terus meningkat dari tahun ke tahun, mencerminkan minat yang luar biasa terhadap bidang ini. Namun, banyak mahasiswa yang mendaftar tanpa benar-benar memahami kompleksitas yang ada di dalamnya.

FOMO sering kali mendorong mereka untuk memilih jurusan ini hanya karena melihat teman-teman atau orang-orang sukses di media sosial yang bekerja di bidang teknologi. Mereka terjebak dalam bayangan karier dengan gaji besar tanpa menyadari tantangan yang akan dihadapi.

Mengapa banyak sekali mahasiswa yang tertarik dengan jurusan ini? Tentunya yang pertama adalah permintaan tinggi terhadap profesional IT di era digital, gajinya yang tinggi, waktu kerja yang fleksibel.

Namun, di balik gemerlap peluang tersebut, tantangan yang tidak kecil menanti para mahasiswa. Banyak yang terjebak pada bayangan karier dengan gaji besar tanpa disertai pemahaman mendalam tentang tantangan di dunia informatika. Mata kuliah yang kompleks, seperti algoritma, pemrograman, dan struktur data, kerap menjadi batu sandungan.

FOMO tidak hanya mempengaruhi pemilihan jurusan, tetapi juga cara Gen Z mempersiapkan diri untuk memasuki dunia kerja. Banyak lulusan Informatika yang merasa tidak siap menghadapi tantangan di lapangan karena kurangnya keterampilan praktis.

Laporan dari World Economic Forum pada tahun 2023 menyebutkan bahwa banyak lulusan IT di Indonesia kesulitan mendapatkan pekerjaan karena minimnya pengalaman kerja dan keterampilan praktis yang relevan.

Dunia kerja di bidang teknologi tidak hanya membutuhkan ijazah, perusahaan mencari individu yang memiliki kombinasi hard skills (seperti coding dan analisis data) dan soft skills (seperti komunikasi dan problem-solving). Sayangnya, banyak mahasiswa yang terjebak dalam rutinitas akademis tanpa mengembangkan keterampilan tersebut. Mereka merasa "salah jurusan" ketika menghadapi mata kuliah yang kompleks dan sulit dikuasai.

Tekanan untuk selalu update dengan perkembangan terbaru dalam teknologi juga dapat menyebabkan stres dan kecemasan di kalangan Gen Z. Mereka merasa harus terus-menerus belajar dan beradaptasi agar tidak tertinggal.

Kecemasan ini sering kali diperparah oleh media sosial, di mana mereka melihat teman-teman atau influencer berhasil dalam karier mereka. Hal ini menciptakan perasaan bahwa jika mereka tidak mengikuti jejak tersebut, mereka akan kehilangan kesempatan berharga. Akibatnya, banyak Gen Z yang menghabiskan waktu berjam-jam untuk berselancar di media sosial alih-alih fokus pada pengembangan keterampilan mereka.

Gangguan tidur dan kurangnya waktu istirahat menjadi masalah umum yang berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik mereka. Kesehatan mental yang terganggu dapat mempengaruhi performa akademis dan kemampuan mereka untuk bersaing di dunia kerja.

Jika motivasi awal mahasiswa hanya sebatas "karena peluang kerja besar", bagaimana mereka bisa bersaing dengan individu yang memang memiliki bakat dan kemampuan dalam bidang tersebut? Untuk mengatasi dampak negatif FOMO dalam pemilihan karier, ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan:

Pemberdayaan Informasi

Pendidikan harus memberikan informasi yang lengkap tentang prospek karier, tantangan, dan kebutuhan industri. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang apa yang sebenarnya dibutuhkan dalam sebuah karier, mahasiswa dapat membuat keputusan yang lebih bijak.

Sekolah-sekolah dapat mengadakan program bimbingan karier untuk membantu siswa memahami berbagai pilihan jurusan berdasarkan minat dan kemampuan mereka.

Penguatan Kurikulum Berbasis Keterampilan Praktis

Universitas perlu memperkuat kurikulum mereka dengan mengintegrasikan proyek nyata, pelatihan teknis, dan magang di perusahaan teknologi.

Model pendidikan berbasis praktik seperti yang diterapkan di Singapore Institute of Technology bisa menjadi contoh baik. Di sana, mahasiswa diwajibkan mengikuti program kerja selama satu tahun penuh di perusahaan mitra sebelum lulus.

Peningkatan Soft Skills

Kemampuan problem-solving, kerja sama tim, dan komunikasi sangat penting dalam dunia kerja saat ini. Universitas harus memfasilitasi mahasiswa untuk membangun jejaring dengan komunitas profesional melalui seminar, hackathon, atau kolaborasi dengan startup teknologi. Ini tidak hanya meningkatkan keterampilan teknis tetapi juga membantu mahasiswa membangun relasi penting dalam industri.

Program Pelatihan dan Sertifikasi

Lulusan dapat meningkatkan daya saing mereka dengan mengambil sertifikasi profesional seperti AWS Certified Solutions Architect atau Google Data Analyst Certification. Program-program ini memberikan pengakuan global terhadap keterampilan mereka dan menunjukkan komitmen terhadap pengembangan diri.

Laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka untuk lulusan perguruan tinggi di Indonesia mencapai 6,82%, dengan banyaknya lulusan IT yang termasuk dalam angka ini. Salah satu penyebabnya adalah ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki lulusan dan kebutuhan industri.

Jurusan Informatika memang menawarkan prospek yang cerah, tetapi perjalanan menuju kesuksesan tidaklah mudah. Dibutuhkan dedikasi, keterampilan, dan strategi yang matang agar lulusan Informatika tidak hanya menjadi angka dalam data pengangguran, tetapi menjadi inovator yang mampu berkontribusi pada perkembangan teknologi.

Dengan edukasi yang tepat sejak dini, penguatan kurikulum berbasis keterampilan praktis dan relevan, peningkatan soft skills, serta program pelatihan dan sertifikasi yang relevan dapat membantu Gen Z membuat pilihan karier yang lebih rasional dan bertujuan sehingga tantangan di dunia Informatika dapat diatasi.

Hal tersebut dapat mengurangi dampak negatif dari FOMO dan mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi tantangan dunia kerja dengan percaya diri dan kompetensi yang memadai, memastikan bahwa Gen Z tidak hanya menjadi angka dalam statistik pengangguran tetapi juga menjadikannya sebagai motor penggerak transformasi digital di Indonesia.

*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang, PS Informatika