Dua Guru Besar Pertegas Peran Sentral Jaksa Sebagai Dominus Litis

"Mulai penyidikan, jaksa sudah ikut memantau jalannya perkara hingga pelaksanaan pidana," katanya.

Dua Guru Besar Pertegas Peran Sentral Jaksa Sebagai Dominus Litis
Foto: Ist

MONDE--Peran jaksa sebagai dominus litis atau pengendali perkara sangat diharapkan direvisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun, bukan berarti menjadi super power.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh dua Guru Besar Fakultas Hukum yakni, Prof Dr Bambang Waluyo SH, MH dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta dengan topik Prinsip Dominus Litis dan Teori Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana, dan Prof Dr Pujiono SH, MHum dari Universitas Gajah Mada (UGM) dengan topik Penyelarasan Penyidikan dan Penuntutan dalam rangka mendukung Pembaruan dalam KUHP Nasional di Focus Group Discussion (FGD) di UPN Veteran, Selasa (25/2/2025).

Prof Bambang Waluyo mengatakan, jaksa mempunyai peran sentral dalam seluruh tahapan dari proses hukum, mulai penyidikan sampai dengan eksekusi dari hasil putusan pengadilan.

"Mulai penyidikan, jaksa sudah ikut memantau jalannya perkara hingga pelaksanaan pidana, dengan membawa terpidana ke lembaga pemasyarakatan, karena itulah jaksa disebut dominus litis," kata Bambang Waluyo.

Kendati demikian, Prof Pujiono berkata, bahwa KUHAP yang baru tidak serta-merta menjadikan jaksa sebagai lembaga yang terlalu dominan. Karena dalam revisi itu, mekanisme restoratif justice diperkuat, sebagaimana diatur dalam Pasal 132, yang memungkinkan penyelesaian berkeadilan sebagai dasar penghentian penuntutan.

Akan tetapi, dirinya sangat menyayangkan masih kurangnya komunikasi antara penyidik dan jaksa dalam sistem yang ada saat ini.

"Komunikasi formal hanya terjadi melalui surat resmi seperti surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP). Padahal, komunikasi yang lebih cair dalam kesamaan persepsi antara penyidik dan penuntut untuk menentukan kelanjutan perkara," ujarnya.

Kekhawatiran timbulnya dalam revisi KUHAP kalau jaksa lebih dominan, ditepis Bambang Waluyo.

"Jaksa memang memiliki kewenangan besar dalam mengendalikan perkara, tapi bukan berarti menjadi super power," ucapnya.

Efektivitas sistem ini tetap bergantung pada profesionalisme, integritas, dan pengawasan lembaga terkait.

KUHAP baru dibuat untuk menyesuaikan perkembangan hukum dan politik, namun mekanisme pengawasan harus diperkuat supaya tidak terjadi penyimpangan.

"Dalam manajemen, ada perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Jika tidak diawasi, sistem yang baik pun bisa bermasalah," imbuhnya.

Dengan adanya revisi KUHAP, para ahli hukum berharap peran kejaksaan tetap kuat agar sistem peradilan di Indonesia dapat berjalan lebih efektif, adil dan transparan.

FGD yang dilangsungkan di UPN Veteran menghadirkan empat narasumber, yakni Prof Bambang Waluyo, Prof Pujiono, Dr Febby Mutiara Nelson SH, MH (Dosen FH UI dan Pengurus ASPERHUPIKI) dengan topik Studi Perbandingan Penerapan Prinsip Dominus Litis di beberapa negara, dan Maidina Rachmawati SH, LL.M (Plt Direktur Eksekutif ICJR) dengan topik Problem KUHAP 1981 dan Prinsip Dominus Litis dalam RKUHAP yang dihadiri oleh mahasiswa dan jaksa dari Kejaksaan Negeri Depok.(jan)