Depok Disebut Intoleran, Idris Beberkan Faktanya
MONDE--Wali Kota Depok, Mohammad Idris, memberikan jawaban terkait Kota Depok yang masuk dalam kategori kota intoleran dalam survei yang dilakukan oleh SETARA Institute.
Idris mempertanyakan survei tersebut lantaran berbeda dengan data yang dimiliki Pemerintah Kota (Pemkot) Depok.
"Saya terima kasih kepada lembaga surveinya, karena ini menjadi masukkan agar kita introspeksi diri, benarkah begitu, tapi kan kita juga tidak boleh apriori dong, maksudnya pendapat kita paling benar atau pendapat dia segala-galanya, karena kita harus menerima koreksi," jelas Idris saat menjadi narasumber Acara Tapping Program Nusaraya di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta Pusat, Jumat (14/4/2023).
Dia pun mengoreksi atas hal tersebut, bahwa hasil Depok intoleran tersebut harus dilihat lagi pendalaman terhadap metodelogi pendekatan survei tersebut seperti apa.
"Jangan ada kasus-kasus tertentu menjadikan sebagai bahan mengatakan ini intoleran," ujarnya.
Padahal Pemkot Depok memiliki program Pemberian Dana Insentif bagi Pembimbing Rohani dari seluruh agama, yaitu Islam, Katholik, Protestan, Budha, Hindu dan Konghucu.
"Karena umat Islam di Depok 93 persen, sehingga kami ambil proporsional pembimbing rohani dari agama Islam 75 persen, yang 25 persen dari berbagai agama, ada dari pembimbing rohani Kristiani, Budha, Hindu, Konghucu," jelas Idris.
Selain itu, penilaian Depok sebagai kota intoleran di dalam survei juga karena pernah mengusulkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Penyelenggaraan Kota Religius (PKR).
"Jadi disangkanya mau menjadikan Depok sebagai negara Islam, makanya saya bilang lihat dulu kontennya. Kontennya (Raperda PKR) sudah dibahas dengan DPRD bahwa raperda itu tidak membahas mengenai pakaian, misalnya orang Islam harus pakai peci, wanita harus memakai jilbab tidak mengatur itu kok raperda itu," tuturnya.
"Sebab yang diatur, bagaimana pemerintah kota bisa memfasilitasi kegiatan-kegiatan keagaman, seperti Majelis Taklim dalam Islam, lalu ada Minggu Kebaktian dalam Kristen, kalau di Islam ada halalbihalal, kalau di Kristen ada Natal Bersama, sehingga kita bisa membiayai ini secara yuridis, kita punya dasar hukum kesepakatan dengan dewan bahwa ini bisa kita fasilitasi mereka," paparnya.
"Kalau sekarang kan sulit, sehingga kegiatan hanya terbatas, bersifat seremonial seperti MTQ saja (karena tidak ada Perda PKR)," ujar dia.
Menurutnya, jika ada Perda PKR seluruh kegiatan keagamaan dapat difasilitasi oleh pemerintah, bahkan memfasilitasi kerukunan umat beragama.
"Kalau tidak salah Budha cuma satu rumah ibadahnya, kita harus memberikan hibah, sedangkan hibah ini ada aturannya dari Kementerian Dalam Negeri," ujarnya.
"Hibah ada aturan tertentu yang tidak boleh dilanggar, tidak boleh diberikan tiap tahun, besarannya pun dibatasi, sehingga mereka terbatas melakukan kegiatan-kegiatan keagaman," tegasnya.
Tak hanya itu, menurut Idris, ada satu lagi alasan Depok dinilai intoleran oleh lembaga survei tersebut, yaitu adanya larangan valentine di Kota Depok.
"Seingat saya tidak pernah mengeluarkan SK mengenai pelarangan itu, yang saya keluarkan imbauan kepada anak-anak milenial, mengingatkan anak muda supaya hati-hati, jangan kebablasan kalau cinta," ungkapnya.
"Sampai ada survei satu kota siswa SMP-nya tidak perawan, itu kebablasan, maka itu yang kami imbau," kata Idris.
Dikatakannya pula, setiap tahun dirinya tak pernah lepas memberikan bantuan operasional gereja, bahkan sampai mengeluarkan IMB gereja. "Tidak hanya di Depok Lama, di Cinere juga ada gereja besar di sana."
Menurutnya, sejak tahun 2018 Pemkot Depok bekerja sama dengan UI, salah satu profesor di sana yang memiliki lembaga survei melihat Kota Depok dari sisi kerukunan beragama cukup bagus.
"Setelah itu Covid, akhirnya di 2021 lembaga survei itu memunculkan Depok intoleran, tapi kita sedang konsentrasi masalah Covid, sehingga tahun 2022 saya memerintahkan kerja sama dengan UI," ujar Idris.
"Dan kembali dikeluarkan rekomendasi dari penelitian itu dari berbagai komponen di antaranya unsur toleransi rata rata nilainya 3,4, artinya dari sisi kerukunan beragama rukun dan bagus," jelasnya.
Uniknya, sambung Idris, dalam penelitian di tahun 2018 dan 2022 itu justru yang rentan tidak rukun ialah dalam satu agama, sebab kalau antar agama sudah rukun di angka 3,4.
Begitu juga dalam konflik sosial di tahun 2022, pihaknya memfokuskan penelitian di tiga kecamatan, di antaranya Kecamatan Cipayung, Kecamatan Sawangan, dan Kecamatan Limo.
"Hasilnya di 2022 bagus, di angka 3,5, 3,6, 3,4, di tiga kecamatan tersebut, artinya tidak ada masalah," ujarnya.
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Kota Depok juga bagus, bahkan Pemkot Depok setiap tahun memberikan hibah tidak kurang dari Rp 500 juta untuk kegiatan-kegiatan mereka.
"Undangan-undangan gereja jika sempat saya pasti datang," tandasnya.(*/md)