Buntut Terbongkarnya Kasus Match Fixing Liga-2 Tahun 2018, Kok Gak Kapok?

Kasus match fixing dalam dunia sepakbola memang bukan barang baru

Buntut Terbongkarnya Kasus Match Fixing Liga-2 Tahun 2018, Kok Gak Kapok?
M. Nigara, wartawan sepakbola senior.

MONDE - Seperti gelegar petir di terik matahari, dunia sepakbola nasional dikejutkan dengan terbongkarnya kasus match fixing, oleh Satgas Antimafia Bola Polri, pekan lalu. Beberapa orang lalu ditetapkan sebagai tersangka.

Kasus match fixing dalam dunia sepakbola memang bukan barang baru. Bahkan, kasus atur-mengatur skor juga tidak hanya terjadi di sepakbola lokal. Liga-liga Eropa pun tak luput dari kasus itu.

Yang paling menonjol adalah kasus Juventus dan Luciano Moggi, salah seorang direksinya disanksi karena terbukti bersalah.

Moggi, terbukti mengatur wasit untuk memenangkan Klub berjuluk si-Nyonya Besar merebut juara serie-A. Tak heran, Juve akhirnya menjadi juara 2006. Bahkan gelar 2004-2005 pun ditanggalkan.

Namun, setelah terbukti, Juventus dipotong 30 poin, gelarnya dicopot, dan turun ke serie-B. Bukan hanya Juve, FIGC, Federasi sepakbola Italia, juga menghukum empat klub: Fiorentina, Lazio, AC Milan, dan Reggina. Walaupun tidak sesial Juve, keempatnya tetap tercatat telah ikut terlibat kasus yang dikenal di Italia Calciopoli. Memalukan.

Di Inggris pun pernah terjadi. Beberapa klub papan atas ikut terlibat. Bahkan tim nasional Jerman pernah juga dituding masuk skandal main-mata saat menang 1-0 atas Austria. Hasil itu sudah cukup untuk menyingkirkan Aljazair di fase grup Puala Dunia 1982, Spanyol.

Bahkan bintang setenar Paolo Rossi, sempat dihukum karena terbukti terkena suap. Namun pelatih nasional Italia, Enzo Bearzot , memaksa FIGC untuk mengampuni Rossi karena ia membutuhkannya.

Setelah melalui perdebatan panjang, permintaan sang pelatih dipenuhi. Rossi pun tidak menyia-nyiakannya. Ia menjadi the best player dan Top skorer dengan enam gol, membawa Italia menjadi juara dunua, 1982.

Puncak 1982-86
Atur-mengatur hasil pertandingan di sepakbola nasional dimulai 1960. Indonesia, saat itu menjadi negara yang sepakbolanya sangat diperhitungkan. Sukses menahan Uni Soviet di Olimpiade Merlbourne 1956, 0-0  dan kalah 0-4 di laga play off, serta memperoleh medali perunggu Asian Games ke-3, 1958 di Tokyo, menjadikan tim nas kita sangat diperhitungkan.

Untuk itu, permintaan Bung Karno, agar timnas kita sedikitnya meraih perak di AG-4, Jakarta, tidak berlebihan. Tapi, sayang, timnas terpaksa dibubarkan oleh Ketum PSSI, Abdul Wahab Djojohadikoesoemo (1960-64), atas permintaan Tony Pogacnik, pelatih nasional asal Yugoslavia.

Pembubaran tim dilakukan setelah Kolonel TNI AD, Maulie Sailan atas perintah Presiden melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Hasilnya hampir semua pemain terlibat. Betul mereka mengatur skor, tapi, bukan, bukan untuk kalah. Mereka mengatur skor sesuai permintaan bandar. Timnas tetap menang, tetapi skornya yang menentukan bandar. Itu saja, mereka dihukum seumur hidup tidak boleh lagi menjadi pemain nasional.

Suap atau Match Fixing memasuki puncak di sepakbola nasional antara 1980-86. Saat itu Galatama, kompetisi tertinggi di tanah air dan di Asia. Jepang dan Korsel saja baru memiliki kompetisi nasional setelah 1986.

Mereka memadukan apa yang ada di sepakbola nasional, diperbaiki dan ditingkatkan. Hasilnya, sejak 1986 hingga Piala Dunia 2022, Korsel tak pernah absen, sementara Jepang ikut dalam beberapa PD. Kita... duh, jauh mimpi dari mimpi.

Hasil laga Galatam periode 1980-86, saya sudah tahu beberapa jam sebelum laga. Dari info yang saya peroleh, di atas 80 persen, benar. Malah gawatnya, klub mana yang akan juara, saya pun sudah diberi tahu.

Begitu juga Perserikatan. Turnamen antar pengda (asprov, saat ini) yang oleh PSSI disebut kompetisi pun demikian. Semua sudah tidak murni.

Tahun 1987, para bandar hengkang. Salah seorang dari mereka menegaskan: "Kapok gua!"

Lho? Dari penelusuran, akhirnya saya dapati, saat itu banyak pemain yang sudah lebih lihai dari para bandar. Mereka tidak lagi bisa diatur oleh satu bandar. Seorang pemain dan wasit, serta asisten wasit (hakim garis, dulu)  bisa menerima order lebih dari tiga bandar. Uang mereka ambil semua, pembayar terbesarlah yang mereka turuti.

Maka di era 1987 hingga akhirnya Galatama dilebur dengan Perserikatan menjadi Ligina 1992-93, baik Galatama maupun Perserikatan, kompetisinya hanya ditonton oleh rumput yang bergoyang.

Kembali ke hasil Liga-2, 2018. Jika akhirnya ada lagi hasil mengatur skor, sungguh tak tahu diuntung mereka. Wasit dan pemain saat ini, Liga 2 sekalipun, sudah berpenghasilan sangat baik.

Jika tidak keliru, wasit Liga-2 sekali tugas, diluar akomodasi dan transportasi, bisa menghasilkan Rp 5 - 7,5 juta. Sebulan bisa mencapai 2-3 kali. Sementara pemain bisa mengantungi Rp 15-20 juta di luar bonus.

Satgas Antimafia Bola Polri mengungkap kasus pengaturan skor sepakbola atau match fixing yang dilakukan sebuah klub bola di Liga 2. Satgas menyebut angka Rp 800 juta untuk mengatur kemenangan klub dimaksud. "Satu laga sampai Rp 100 juta untuk wasit," katanya.

“Sampai saat ini terdata kurang lebih sekitar Rp 800 juta, kalau pengakuan (pihak klub) mungkin bisa Rp 1 miliar lebih." katanya lagi.

Ketua Umum PSSI, Erick Thohir tegas mengatakan: "Hukum seumur hidup!"

Nah, tidakkah kita mau belajar dengan kasus-kasus masa lalu? Atau mereka memang sudah berpelukan dengan iblis yang selalu menghalalkan segala cara.

Lewat tulisan ini, saya ingin mengajak kita semua untuk *lawan match fixing, jaga sepakbola dari para iblis bertubuh manusia.

semoga bermanfaat....

M. Nigara
Wartawan Sepakbola Senior