Angkat Topi Untuk Panser Biru dan Jakmania
Langkah dua kelompok suporter, PSIS Semarang dan Persija Jakarta perlu diacungi jempol.
MONDE - Tak penting berapa jumlahnya. Apa yang bisa dikumpulkan dan apa yang dilakukan oleh Panser-Biru, suporter fanatik PSIS Semarang untuk membayar denda Komisi Disiplin, PSSI, adalah langkah besar.
Hal senada, kabarnya juga dilakukan the Jakmania. Konon angka yang mereka peroleh sudah cukup untuk menyelesaikan denda bagi Persija.
Langkah dua kelompok suporter, PSIS Semarang dan Persija Jakarta perlu diacungi jempol. Hal itu memperlihatkan tingkat kedewasaan Panser Biru dan Jakmania sudah tumbuh. Mereka bukan lagi beban bagi klub.
Mereka mampu menunjukkan kepedulian yang sangat luar biasa pada klub yang mereka dukung. Langkah itu pula membuktikan bahwa kelompok suporter adalah bagian yang tak terpisahkan dengan klub.
Saya teringat dengan Aremania di masa awal. Mereka betul-betul mendukung klub yang didirikan oleh Acub Zainalb(mantan Gubernur Irian Barat dan tokoh yang ikut melahirkan Galatama) dan Soegiyono (mantan Walikota Malang) dengan nyata. Mereka urunan dengan membeli tiket borongan sebelum kompetisi dimulai agar Arema punya modal.
Namun, nama Aremania terdegradasi karena tragedi Kanjuruhan. Saya menyebut mereka sudah jatuh, tertimpa tangga.
Urat-Nadi Klub
Seperti kita ketahui, kelompok suporter adalah urat- nadi utama klub. Mereka bisa menghidupkan sekaligus juga bisa mematikan.
Dengan tingkat kedewasaan yang sudah mereka perlihatkan, rasanya ada nuansa optimis bahwa suporter kita kedepan bisa menjadi baik.
Hal ini mengingatkan saya pada kelompok hooligan di Inggris yang di era 1970an hingga akhir 1990an, sangat brutal. Tapi sekarang, para suporter di negeri Inggris, tidak lagi seperti demikian.
Komdis Dilematis
Komisi Disiplin PSSI, saat ini menghadapi dilema yang tidak kecil. Ada pihak-pihak yang menganggap Komdis itu sembrono. Bahkan ada juga yang menilai Komdis menjadi alat untuk 'mencari uang bagi PSSI melalui nilai denda'.
Padahal, Komdis hanya menjalankan tugas untuk menegakkan disiplin. Ada tiga alat yang dipakai: Statuta, Regulasi, dan Kode Disiplin.
Dan, setiap keputusan yang diambil pun harus melalui perdebatan yang keras sesama anggota. Artinya, meski pasti tidak sempurna, apa yang coba ditegakkan komdis pasti tidak berdasarkan kesewenangan.
Di dunia, mungkin kesewenangan itu bisa kita sembunyikan. Tapi, dihadapan Sang Khalik, kelak, di pengadilan yang sesungguhnya, sekecil apa pun, harus dipertanggung jawabkan. Saat di mana kita tidak bisa meminta pertolongan siapa pun. Dasar ini sungguh disadari dan dijadikan landasan untuk mengambil segenap keputusan. Sekali lagi, pasti jauh dari sempurna.
Contoh yang paling sering menjadi perdebatan sengit, pasal yang menyebut Suporter tamu dilarang datang. Sungguh, pasal ini menurut hemat saya sangat berat untuk diterapkan. Ada pelanggaran hak-asasi manusia di dalamnya.
Tapi, munculnya pasal itu pasti bukan tanpa dasar. Kasus Kanjuruhan (jatuhnya ratusan korban jiwa) menjadi salah satu landasan. Padahal, saat itu tidak ada Bonek atau suporter Persebaya lain. Tetapi, ketika korban berjatuhan, tetap harus menjadi sesuatu yang perlu diperhatikan agar tidak terulang.
Lalu, rentannya sikap di kalangan masyarakat yang sangat mudah tersulut amarah, bukan hanya disepakbola, di banyak sendi kehidupan orang mudah marah, terbakar, dan menjadi kerusuhan. Hal ini sangat perlu untuk diperhatikan agar sepakbola tidak jadi alat pemicu.
Dan yang paling sulit dihindari adalah adanya tahun politik. Kita tahu istilah Cebong dan Kampret, Kadal Gurun serta buzzerRp yang tidak pernah hilang, padahal Jokowi dan Prabowo sudah bersatu.
Hal-hal inilah yang sulit dihindari oleh Komdis. Meski, resikonya Komisi Disiplin pun diolok-olok. Sepanjang masih seperti sekarang, semua masih oke-oke saja.
Terpenting untuk mereka yang terus mengkritisi PSSI s/q Komdis, dasarnya tetap cinta pada sepakbola. Cinta pada tegaknya disiplin, dan bukan dilandasi rasa benci. Komdis pun butuh kritikan yang kondusif untuk terus menegakkan dan menjalankan sepakbola dengan kesalahan yang minim.
Untuk itu, kesadaran Panser-Biru dan the Jakmania seperti secercah harapan yang kita harapkan menjadi sinar penerang.
Maju terus suporter Indonesia. Bravo sepakbola Indonesia...
MN
Wartawan Sepakbola Senior