Afifah Alia Bukan Cleopatra

DIBALIK pria hebat ada wanita yang hebat. Artinya semua keberhasilan seorang pria terletak ditangan wanita yang menjadi istri. Ini luar biasa!

Afifah Alia Bukan Cleopatra

Oleh: Suryansyah
Sekjen Siwo PWI Pusat

Saya percaya wanita bukan mahluk lemah. Wanita menyimpan kekuatan tersembunyi yang tidak terpikirkan oleh siapapun. Sosok lembut ini jangan dipandang sebelah mata.

“A strong woman loves, forgives, walks away, lets go, tries again, and perseveres…no matter what life throws at her.” –Anonymous.

Artinya kurang lebih begini. Seorang wanita yang kuat bisa mencintai, memaafkan, meninggalkan, melepaskan, mencoba lagi, serta gigi. Apapun yang terjadi di hidupnya. Sosok itu tercemin pada Hj Afifah Alia. Penampilannya biasa saja. Sederhana! Afifah tampil berbalut produk UMKM Depok. Dari kerudung hingga sepatu. Meski materinya mumpuni sebagai pengusaha.

Wanita berhijab ini bersahaja. Ramah! Di balik kesederhanaannya tercermin kekuatan. Ada kegigihan dalam hidupnya. Dia bukan wanita manja. Tapi, pekerja keras. Total! Afifah bukan wanita Semenanjung Iberia, berpayung liberalisme, eksotis bergaya. Dia juga bukan Evita Peron- ibu Argentina- yang gemar pesta. Bukan pula Cleopatra – ratu tercantik- berkain sutra penguasa Dinasti Macedonia yang berlindung di tangan baja Raja Mesir Julius Caesar.

Afifah ditiupkan ke dunia dengan baju aqidah dan agama. Dia membawa keindahan cahaya dan kedamaian dalam langkahnya. Bukan saya melangitkan wanita kelahiran Jakarta, 16 November 1975 ini. Wanita ini super sibuk. Dia aktif di berbagai kegiatan. Sulit menapaki jejak wakil ketua bidang perempuan dan anak PDI Perjuangan kota Depok ini. Dia juga Ketua Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) Kota Depok. Sayap Islam PDI Perjuangan.

Saya tidak mengenal Afifah secara pribadi. Saya baru sekali berbicara dengannya. Mungkin warga Depok juga asing mendengar namanya. Jauh lebih mengenal Ayu Ting Ting yang membumi. Walapun sama-sama orang Depok. Saya penasaran mencoba mencari tahu. Saya mengintip akun media sosialnya: @afifahalia.official. Postingannya baru sedikit, 66. Tapi followersnya lumayan, di atas 6 ribu. Manariknya, hampir seluruh postingan berisi kegiatan sosial.

Langkah awal dibuktikan. Afifah terekspos media sejak pandemi virus corona mewabah. Dia turun langsung ke lapangan. Afifah menyambangi warga yang terdampak. Dia datang memberikan bantuan sosial. Itu kesan pertama yang saya tangkap. Dalam diskusi Calon Wakil Wali Kota Depok, Rabu (22/7). Acara ini digagas Depok Media Center (DMC). Komunitas wartawan Depok.

Diberondong pertanyaan wartawan, dia tetap tenang. Meski masih agak malu-malu dihadapan awak media. Mungkin karena belum terbiasa. Itu bukan masalah. So must go on. Semua dijawab dengan lugas. Termasuk ketika saya tanya: mana lebih nyaman menjadi politisi atau pengusaha?

Jawabannya memang singkat. “Saya baru di politisi. Pastinya lebih nyaman jadi pengusaha,” tutur Afifah Alia.

Tapi, dia tak bisa menolak permintaan partainya untuk maju sebagai calon wakil wali kota. Dia akan mendampingi Pradi Supriatna sebagai calon wali kota Depok.

“Sebagai petugas partai. Sekali lagi. Saya diminta. Saya akan bekerja keras. Buat saya menjadi politisi harus selesai dengan rumahnya. Sehingga, bisa jadi politisi yang baik. Jadi politisi harus mengabdi ke masyarakat.”

Afifah memang tak familiar. Popularitas itu menurut saya hanya soal waktu. Tergantung dari apa yang diperbuat. Seberapa besar pengaruhnya bagi orang banyak. Bukan untuk pribadinya. Dalam pandangan saya ada sesuatu yang berbeda pada diri Afifah.

Apa itu? Keberaniannya! Kekuatan, keanggunan, kecerdasan, dan keberanian dibutuhkan untuk tidak pernah mengucapkan kata tidak.

“Saya bukan penjual ‘kecap’. Saya ingin benahi kota Depok. Bukan kota slogan, tapi harus kejadian,” kata Afifah.

Afifah wanita pertama yang maju dalam Pilkada Depok sepanjang sejarah. Kredit poin untuknya. Paling tidak Afifah jawaban kegelisahan wanita Depok. Sejauh ini aspirasi wanita kurang mendapat perhatian. Selama ini aspirasi wanita kurang diperhatikan karena porsi keterlibatan wanita masih minim dalam pengambilan keputusan dan kebijakan akibat dominasi kaum pria. Kehadiran Afifah ini jadi pemantik/inspirasi bagi wanita lainnya untuk berkiprah dalam ranah tertentu misal politik.

Padahal jumlah wanita di Depok tidak sedikit: 1.157.231 orang dari 2.330.333 jiwa. Itu catatan Badan Pusat Statisk Kota Depok tahun 2018. Bahkan Pemilu 2019, Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kota Depok jumlah wanita lebih banyak dibanding pria. Perbandingannya: 659.055 (wanita) dan 650.283 (pria).

Kader PDIP ini diusung sebagai calon wakil wali kota. Afifah berduet dengan Pradi Supriatna (Gerindra) sebagai calon wali kota Depok. Pasangan yang mencerminkan kesetaraan gender. Dalam dunia politik saat ini, penting untuk menggabungkan feminisme dan teori post-modern. Afifah mengemasnya dalam visi dan misi. Dia bertekad benahi Depok. Semua sektor. Satu-satu tentunya. Kesehatan, pendidikan, pangan, dan birokrasi jadi prioritas.

Tak gampang, itu pasti. Afifah tak mau obral janji. Kehadirannya ingin mengubah perspektif. Wanita bukan pelengkap dan pemanis dalam politik. Tapi kekuatan dalam meningkatkan kualitas. Itu patut diapresiasi. Feminisme adalah serangkaian gerakan sosial, gerakan politik, dan ideologi yang memiliki tujuan yang sama. Yakni mendefinisikan, membangun, dan mencapai kesetaraan gender di lingkup politik, ekonomi, pribadi, dan sosial.

Dalam konteks nasionalisme, gender tidak memiliki keterkaitan dengan apakah individu memiliki rasa nasionalisme yang tinggi dan mampu mengaplikasikannya dalam tatanan kehidupan sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri, nasionalisme memainkan peranan penting dalam kemajuan suatu daerah atau bangsa. Sejatinya, dia bukan orang baru di panggung politik. Pada 2019 dia mengikuti pemilihan legislatif (Pileg) 2019. Caleg dari PDI Perjuangan ini mewakili daerah pemilihan Jawa Barat IX (Sumedang, Majalengka, Subang). Sayang, gagal melenggang ke Senayan.

Jebolan Sarjana Teknik Universitas Pancasila itu tak patah arang. Dia malah ikut lagi untuk kedua kalinya dalam kontestasi politik. Yakni di Pilkada 2020 Kota Depok. “Saya terpanggil untuk benahi Depok,” ucapnya.

Secara materi Afifah sudah mumpuni. Kini dia ingin berbagi gagasannya sebagai politisi. Dia ingin menyerap aspirasi mayarakat. Impiannya: Kota Depok menjadi kota modern, berbudaya dan berintegrasi. Memang, saat ini politik yang ditekuni para wanita hanya berkutat pada kekuasaan. Hal ini tak lepas dari pemaknaan politik zaman sekarang. Di mana politik hanya dimaknai pergerakan perebutan kekuasaan atau menjadi pemimpin sebuah daerah/negara.

Demi eksistensinya, wanita mulai terjun ke ranah tersebut. Dengan dalih kesetaraan gender, wanita tak lagi harus berada di rumah, melainkan bisa menjadi pemimpin yang dibutuhkan rakyat. Wanita berada di tempat di mana banyak keputusan dibuat. Wanita bukan pengecualian. Jika Anda ingin sesuatu untuk dikatakan, mintalah kepada pria. Jika Anda menginginkan sesuatu untuk dilakukan, mintalah kepada wanita.

Afifah tak ingin sekadar ada atau pemberi warna. Dia ingin aktif membangun Kota Depok. Saya percaya wanita bisa menjadi “manusia besi,” dan sulit ditaklukkan. Evita Peron dan Cleopatra telah membuktikan. Tapi, Afiah bukan keduanya. (*)